Rupanya, keponakanku (sepantaran dengan anakku) terbiasa diberi jajan manis oleh orangtuanya. Kalau main bareng, otomatis anakku "lengket oleh gula". Mbah Uti (ibuku) tidak tega melihat anak menangis. "Aku ndak tega melihat dia nangis, ya aku kasih permen!"
***
Mbah VS Orangtua, Mbah Lebih Sayang Cucu?
Aku dan istri tak masalah melihat anak menangis karena keinginan tak dipenuhi. Sedangkan bagi Mbah, anak menangis bak aib. Jadi, apapun akan dilakukan agar anak tidak menangis. Kesannya, Mbah lebih sayang pada cucu. Padahal, anaknya pun tidak diperlakukan begitu. Berikut beberapa penjelasannya.
1. Latar Sejarah Sosial
Dalam masyarakat tradisional, keluarga hidup dalam kelompok besar. Anak yang menikah masih tinggal satu pekarangan atau satu rumah dengan orangtua. Ketika generasi baru lahir, peran Mbah bergeser dari orangtua yang keras menjadi figur pengasuh yang lembut. Mereka tak lagi memikul beban ekonomi, sehingga bisa menumpahkan kasih pada cucu tanpa tekanan.
2. Budaya Jawa tentang Siklus Hidup
Budaya Jawa khususnya ada konsep “urip iku mung mampir ngombe” (hidup hanya singgah sejenak). Saat seseorang sudah tua, fokus hidupnya bukan lagi mencari nafkah/mendidik keras, tapi menikmati waktu bersama cucu sebagai “buah tangan Gusti”. Cucu dianggap penerus garis darah dan tanda keberhasilan hidup, lebih disayang daripada anaknya yang dulu “diolah” dengan disiplin keras.
3. Nilai Psikologis dan Sosial
Saat menjadi orangtua, generasi sebelumnya bersikap keras karena situasi ekonomi dan tuntutan zaman. Setelah menjadi Kakek/Nenek, mereka lebih lembut kepada cucu untuk menebus cara lama yang keras. Cucu memberi rasa muda kembali, juga sebagai simbol bahwa mereka telah berhasil membesarkan anak sampai beranak.