Apa yang lebih menyakitkan dari: anak minta jajan, tapi orang tua tak punya uang? Ini: anakmu bertanya, "Papa udah gajian belum?"
Sedih. Perih di satu sisi. Tapi, juga tersenyum bangga. Jadinya dualisme. Begini kisahnya, yuk ikuti petualangannya!
***
Seorang anak lelaki ditanya oleh Bude, "Kamu tadi makan sama apa?" Saat itu ada merti desa (hari jadi desa) di kampungnya. Seperti biasa, pesta rakyat ala kampung. Tiap rumah tangga memasak yang enak-enak, seperti olahan daging. Minimal daging ayam.
Tapi, jawaban si anak di luar pengetahuan umum. "Janan goyi!" jawabnya tanpa setitik pun ragu. Artinya sayur gori (nangka). Jangan membayangkan sayur nangka seperti nasi gudeg yang lengkap dengan sambal krecek, ayam suwir, maupun telur bacem dibelah dua. Menu makanan si anak adalah sayur gori tulen. Tak ada toping apa pun. Hanya dibumbu dengan kuah santan.
Bukan apa-apa, tapi ini kan pestanya kampung, setahun sekali. Masa cuma masak dengan sayur gori--menu seperti hari-hari biasa. Sudah begitu, si anak menjawab dengan lantang dan percaya diri pula. Kasihan. Perekonomian keluarga ini memang susah.
Sang ibu menangis perih, meski tak keluar air di mata. Ia sedih, prihatin, dan sedikit meratapi nasib. Kenapa kemiskinan begitu kejam. Saat warga seluruh kampung bisa pesta makan daging, ia hanya bisa memberi makan anaknya dengan 'daging' nangka. Ironis.
Kelak, saat si anak remaja dia sudah tahu menuntut dibelikan mainan yang trending waktu itu yakni Tamiya dan Tamagochi. Ibunya harus berpuasa 7 hari agar bisa membelikan mainan dimaksud.
Meski begitu, orang tuanya--khususnya sang Ibu--percaya bahwa Tuhan tidak tidur. Ia percaya, dengan ketekunan, kerja keras, dan hidup jujur; Tuhan mampu mengubah hidupnya.
Terbukti, kelak anaknya bisa sekolah tuntas sembilan tahun, bahkan menyabet gelar sarjana. Terkini, anak yang suka makan sayur gori itu telah menjadi guru di sekolah swasta ternama di salah satu kecil kota di Jawa Tengah.