Kamu bisa meraih puncak kekuasaan, menyentuh ujung semesta, bahkan bersinar paling terang di antara bintang. Namun, jika kamu tidak punya waktu bersama anak; semua sia-sia.
Menjadi ayah adalah panggilan yang mulia. Tak kalah mulia dengan penggilan menjadi guru demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi orang tua itu berat, khususnya ayah. Sebab, ayah dianggap sebagai panutan dalam keluarga. Jika ayahnya baik, biasanya anak akan menjadi baik. Begitu pun sebaliknya.
Hari-hari ini, kita melihat bagaimana anak pejabat flexing, bahkan arogan di media sosial. Kebetulan bapaknya pejabat dan kaya. Tapi, kekayaannya sesuai hasil kinerja, atau korupsi...???
Tak peduli sebanyak apa pun kekayaan seseorang, jika bisa mendidik anak dengan benar, anak takkan sampai melakukan blunder di medsos. Yang kerja kan bapaknya, kenapa anaknya yang pamer? Lagi pula, kekayaan dan kekuasaan bapaknya tidak otomatis menjamin kapabilitas anaknya.Â
Sehingga, kemunduran suatu bangsa, pertama-tama dimulai dari dalam keluarga. Kalau dari rumah sang ayah (orang tua) tidak bisa mendidik anaknya, maka ia akan arogan dan justru mempermalukan keluarga. Bisa jadi justru mengancam karir orang tuanya.
Sebagian besar kita geram mendengar berita tentang kepala sekolah SMP di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan yang dicopot. Penyebabnya, kepala sekolah menegur muridnya yang membawa mobil. Lalu, wali kota mencopot kepala sekolah tersebut.
Pikirkan. Murid SMP membawa mobil ke sekolah. Anak di bawah umur tidak diizinkan mengendarai kendaraan bermotor. Mobil pula. Saat ditegur, malah kepala sekolah yang dicopot.
Ini kacau. Diskriminasi berulang di dunia pendidikan. Kemunduran. Bagaimana mau maju kalau guru yang mendisiplin murid justru didiskriminasi? Mereka yang berkuasa dibiarkan lapor-copot seenak perutnya.
Maka dari itu, menyadari pentingnya peran seorang ayah bagi anak, terlepas apa pun jabatan dan pekerjaannya, aku dan istri berusaha mendidik anakku dengan nilai-nilai etika dan moral.
Suatu siang aku mengantar anak ke rumah Mbah, di daerah kampung. Pakdeku (Mbah gede buat anakku) masih memelihara beberapa ekor sapi. Beberapa waktu lalu induknya baru melahirkan. Kali ini, indukan lainnya juga melahirkan. Anaknya masih kecil dan lucu, hanya bisa duduk di lantai.
Aku mendorong anak untuk melihat anak sapi yang lucu itu. Namun anakku takut. Kenapa takut? Padahal sapi bukan hewan buas.
Begini ceritanya. Cara komunikasi yang salah menjadi penyebabnya. Suatu hari lain, anakku main di tempat Mbah gede bersama sepupunya perempuan yang sepantaran. Kalau sudah bermain, biasanya ia sulit diajak pulang padahal hari sudah sore.Â
Supaya anakku mau pulang, oleh Mbah dia ditakut-takuti. "Kalau ndak pulang, nanti sapinya pakde dilepasin lho!" Alhasil anakku berhasil diajak pulang untuk mandi. Tapi, dampaknya sampai sekarang ia takut kalau dibilang "Sapinya Mbah nanti keluar".
Maka, setiap main ke rumah Mbah gede ia tidak mau mendekat ke arah kandang. Takut pada sapi. Sebagai ayah, aku harus memulihkan kepercayaan diri anakku. Aku harus menjadi pribadi yang bisa dia percaya untuk mengalahkan ketakutannya.
Aku mendorong anak untuk melihat anak sapi. Aku akan menemaninya. Namun, dia masih takut. "Papa gendong kamu deh!" Kali ini ia mau. Tapi masih takut juga saat mendekat ke kandang. Aku mengambil angle di belakang samping, jadi tidak langsung menghadap wajah sapi. Sejak saat itu, anakku tidak takut melihat sapi, meskipun masih harus ditemani.Â
Tidak hanya membantu mengalahkan rasa takut, aku dan istri berkomitmen untuk mengajar dan mendidik anak dalam keterampilan hidup dasar. Ditambah lagi dia sudah masuk play group. Gurunya di sekolah mengajarkan lebih banyak keterampilan saat bersosialisasi dengan anak-anak lain.Â
Berikut ini beberapa hal yang kami latihkan kepada anak.
- Mengucapkan kata "tolong, maaf, terima kasih".
- Membuang bungkus makanan ke tempat sampah.
- Pup dan pipis di closet.
- Menaruh sendal/sepatu pada tempatnya.
- Memakai dan melepas sepatu sendiri. (Keterampilan ini khususnya setelah sekolah)
- Memberi salam kepada Mbah/orang tua.
- Minta izin kepada teman jika mau meminjam mainan.
- Berbagi mainan/makanan kepada teman.
- Membaca buku cerita sejak dini.
- Menggosok gigi sendiri. (Meski pasta giginya masih sering dimakan, hihi...)
Masih banyak hal keterampilan dasar yang kami ajarkan kepada anak. Tidak langsung berhasil, beberapa anak juga tidak mematuhi. Tapi itu komitmen kami untuk mendampingi dan mendidik anak. --KRAISWAN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI