Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Main Push Bike: Anak yang Rewel, Orangtua yang Jengkel

22 Juni 2025   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2025   14:56 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendampingi anak latihan push bike | dokumentasi pribadi/RN

Orangtua bakal bangga setinggi langit, jika anak bisa memenangkan perlombaan, juara 1 pula. Jika masih latihan saja tantrum (rewel), akankah tetap bangga; atau justru jengkel?

***

Hari Sabtu adalah hari tenang buatku dan istri. Tapi itu dulu. Kini, seiring bertambah aktivitas pelayanan dan kegiatan anak, hari tenang itu bak fatamorgana.

Drama dimulai sejak Jumat malam...

Anak kami beranjak empat tahun. Makin banyak akalnya, makin pintar, namun juga makin suka berontak dan tidak mau menurut. Maunya main terus...

Aku dan istri sudah sounding sejak petang, "Kamu besok mau lihat kuda ndak, Nak?" tanyaku. "Iya!" balas anak kami antusias. Untuk itu, kami mendorongnya agar tidur cepat, sehingga besok bisa bangun pagi.

Realita: aku menemani tidur sejak jam 10, menjelang tengah malam tak juga tidur. Sampai aku yang ketiduran. Payah. Alhasil, esoknya anak kami susah bangun. Jam 7 lebih baru bangun. Sedang istriku masih harus belanja. Makin siang, keburu bubar kudanya.

Di daerah Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, ada pacuan kuda terkenal yang biasa dipakai ajang balap kuda level nasional. Anak kami tipe naturalis, jadi suka melihat bermacam hewan, temasuk kuda. Sejak umur setahun kami sudah mengajaknya melihat kuda.

Syukurnya, meski mentari kian tinggi, masih ada kuda yang diajak latihan di lapangan pacu. Jadi anak masih ada kesempatan melihat kuda. Ia sangat antusias!

Habis Nonton Kuda, Sarapan Kemudian

Menyadari menonton kuda latihan tak otomatis memberi tubuh kekuatan, kami segera mencari sarapan. "Aku mau makan soto!" seru anakku. Ya, soto adalah makanan favorit mami. Kuah panas, gurih, ada nasinya, tambah gorengan. Cocok!

Selesai sarapan, kelar urusan? Tidak. Kami masih harus ke tempat Mbah untuk mengambil barang, ada pertemuan online Pasutri, aku masih harus persiapan untuk Sekolah Minggu ke gereja, dan nanti sore mendampingi anak latihan push bike.

Bermain push bike menjadi salah satu kiat kami untuk melatih dan mendorong anak agar berkembang secara sosial, emosi, dan kemampuan. Sepeda sudah dibelikan. Helm dan jersey juga dibeli, ada kakak rohani yang memberi uang. 

Tapi makin ke sini, anak kami belum menunjukkan progres berarti. Kalau tidak rewel, ya nangis. Tidak fokus untuk latihan. Melihat mainan teman, pengen dilihat Melihat truk parkir, pengen naik. Belum kalau ada anak lain yang makan jajanan.

Sabtu lalu, aku menyusul anak dan istri ke lokasi latihan. Cone pembatas sudah ditata, aku terlambat. Kabarnya, anakku sudah mau muter-muter lintasan lebih dari lima kali. Keren!

Namun, di waktu-waktu berikutnya anakku kumat. Berhenti melihat ikan, menggeser cone, putar balik cuma 2 meter dari garis start. Paling parah, tantrum karena ingin mobil mainan teman. Aku dan istri sudah berusaha menenangkan, tapi gagal. Tantrumnya bertahan sampai anak-anak lain melakukan pendinginan. Aku tidak malu karena anak menangis teriak-teriak. Namun, aku agak jengkel karena tidak berhasil menenangkan anak.

Masakan gegara anak rewel saat latihan push bike, orangtua ikut jengkel...?

Sudut Pandang Orangtua vs Anak

Masalahnya, anak tidak tahu bahwa orangtua sudah menginvestasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk latihan push bike. FYI, sekali latihan harus membayar iuran Rp15.000 khusus member. Anak dapat snack dan susu sih. Orangtua tak kurang-kurang untuk mendukung dan mendorong anak latihan supaya keterampilan dirinya berkembang. Tapi kenapa latihan saja pakai rewel?

Mari kita lihat sudut pandang anak. Bermain adalah hobi dan dunianya. Melihat dan memegang mainan teman adalah kesenangan. Sedangkan mengikuti disiplin adalah siksaan.

Pagi hari, mendampingi anak melihat kuda | dokumentasi pribadi/RN
Pagi hari, mendampingi anak melihat kuda | dokumentasi pribadi/RN

Tapi anak lain bisa taat saja mengikuti arahan. Kenapa anakku tak bisa?

Ingat, Papa-Mama, setiap anak unik. Janganlah kita membandingkan anak kita dengan anak lain.

Tugas Kita Membukakan, Berikutnya Anak yang Menekuni

Di usia menjelang empat tahun, aku dan istri berkomitmen untuk membukakan banyak hal kepada anak. Biarkan dia mengenal, berinteraksi, dan mengalami. Berikutnya dia akan menekuni hal yang dia minati.

Kami baru sekitar setahun ini mendorong anak bermain push bike. Kami akan terus mengevaluasi, apakah setahun ke depan ia menaruh minat pada push bike atau tidak.

Meski saat kejadian anak rewel orangtua ingin jengkel rasanya. Tapi, yuk kita tetap fleksibel. Berikan ruang untuk anak berproses sesuai usianya.

Mengutip kalimat seorang kreator, anak perlu didengar. Orangtua sedang belajar. --KRAISWAN

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun