Aku dan istri berjiwa naturalis. Selain suka menanam, berinteraksi dengan hewan, aku dan istri berharap kecintaan kami naik gunung bisa ditiru oleh anak.Â
Aku pernah berpapasan dengan anak WNA (mungkin baru berumur 2 tahun, sudah bisa jalan), diajak mendaki Gunung Andong. WNA mengajarkan disiplin dan kemandirian kepada anaknya sejak dini. Apakah anak WNA yang diajak mendaki itu juga be nice? Tidak. Si anak menangis.
Bagaimana reaksi orang tuanya? Batal mendaki? Tidak. Dipaksanya anak itu terus melangkahkan kaki, tidak digendong. Kok tega ya, anak kecil diajak mendaki gunung. Hal ini tentu bertolakbelakang dengan pola asuh orang Indonesia, khususnya Jawa. Karena saking sayangnya pada anak, maunya terus digendong. Diajak naik gunung? Jangan harap, cari celaka saja!
***
Hari Jumat, aku baru berkunjung ke Hutan Desa, Ngablak, sebuah tempat wisata resto di pinggir kebun warga. Bukan makanan/minumannya, yang membuat tempat ini menarik adalah ada hewan rusa dan  kelinci yang bisa diajak berinteraksi oleh anak-anak. Untuk orang dewasa yang doyan foto, terpampang jelas dan indah Gunung Telomoyo sebagai latar belakang. Suhu udara di sini sejuk dan segar. Cocok untuk liburan. Agenda ini dadakan.
Waktu itu, teman kantorku sedang muncak Gunung Andong. Wah, jadi sama-sama menikmati alam, hanya berbeda cara. Kami sudah beberapa kali muncak ke Andong, tapi melihat unggahan teman mendorong kami ingin muncak lagi. Tapi kapan...? Liburan sudah hampir berakhir.
Malamnya, saat mengobrol istri mewacanakan untuk muncak ke Andong. Dadakan. Waktu itu keponakan yang kuliah di Semarang datang menginap. Niatnya, mau mengajak adik ini. Si kecil akan titipkan ke tempat Mbah. Sebab, hari-hari ini dia sering tantrum. Tak sanggup aku menggendongnya jika rewel di jalan.
Saat hendak tidur, istri pamit pada anak bahwa kami akan pergi naik gunung, dan dia akan dititipkan ke tempat Mbah. E lha dalah, dia bilang mau ikut.
Aku sebagai pemimpin rumah tangga menjadi galau. Kalau anak ditinggal, kasihan, nanti bakal mencari. Mau mengajak anak, takut penumpang lain juga tidak kuat (Ada adik rohani istriku juga yang akan ikut. Ada 3 penumpang yang pertama naik gunung). Kalau menggendong anak, jadi aku yang kasihan.
Akhirnya, kami memutuskan mengajak anak. Mengajak anak 3,5 tahun mendaki, gak bahaya tah?
Pastikan Kondisi Tubuh Fit
Jujur, sepulang dari Hutan Desa itu aku tidak 100% fit. Aku beberapa kali bersin dan agak beringus. Kondisi begini mau muncak, nekat! Tanpa niat mengecewakan anak dan istri, aku merawat tubuhku. Minum to*ak an*in dan segera istirahat. Gunung Andong dengan Puncak Alap-alap setinggi 1692 mdpl adalah jalur yang ringan dibandingkan Merbabu (3.145 mdpl). Aku bukan pertama kali naik gunung, jadi ya berani (nekat) saja.
Kami mengusahakan tidur cepat supaya bangun awal dan berangkat lebih pagi. Realita: bangun jam 5, berangkat jam 6. Tiba di base camp jam 7 lebih. Meski kesiangan, kami bersyukur masih dapat pemandangan memukau berlatar trio Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi. Sebab, makin siang, puncaknya ditutupi kabut.
Bawa Bekal Seperlunya
"Kita mau naik gunung, bukan mudik." ujarku pada istri. Bekal utamanya air mineral dan makanan ringan. Katanya, kalau naik gunung perlu bawa sumber gula, sepeti gula Jawa. Kami memba cokelat. Karena membawa bocil, kami bawakan baju ganti dan mainan. Uniknya, dia membawa serokan penggorengan. "Ini jaring laba-laba," katanya. Serokannya memang mirip sarang laba-laba. Sampai membuat penasaran pendaki lain.
Kami tidak berencana menginap, jadi tidak membawa tenda. Cek ombak dulu, bagaimana perkembangan si bocil pertama kali diajak naik gunung.
Godaan Minta Digendong
Bak menemukan tempat bermain baru, anak kami semangat melangkahkan kaki. Bahkan sampai berlari kecil dan melompat. Jalur awal mendaki berupa lahan sayur milik warga. Masih nampak indah. Makin ke atas, makin rapat dengan pohon pinus. Cahaya matahari makin jarang. Jalannya juga makin sulit. Berbatu, berlubang, akar dan batu melintang di sana sini, dan licin karena kemain baru hujan.
Baru lima menit berjalan, sudah keluar kata ajaib yang baru, "gendong". Kami alihkan dengan cokelat batang yang kami bawa. (Di rumah, kami tidak membiasakan memberi cokelat atau makanan manis.) Dia bisa lupa sesaat minta gendong. Lalu keluarkan mainannya. Kami ajak bercanda juga sesekali.
Satu demi satu langkah, kami hampir mencapai puncak. Meski sering berhenti karena si kecil mengeluh capek. Saat puncak sudah mulai kelihatan, jalannya sempit dan banyak bebatuan, akhirnya kami gendong juga. Sudah bisa sejauh ini, bagus. Aku dan istri bergantian menggendong. Sesekali meminta anak berjalan lagi.
"Maaf, Ayah Meragukanmu, Nak!"
Anak kami bisa sampai puncak juga. Meski digendong juga mendekati puncak. Namun, untuk anak 3,5 tahun pertama kali naik gunung, dan bisa tiba di puncak dengan selamat, itu adalah progres. Aku sempat meremehkan anakku yang tidak mau berjalan. Aku salah. Maaf, ayah meragukanmu, Nak!
Kami mendokumentasikan foto dengan tanda puncak berupa tugu, plat bertuliskan Gunung Andong, maupun dengan latar belakang gunung. Banyak pendaki lain yang mengantri untuk berfoto.
Cuma di gunung Andong bisa beli gorengan, es teh dan ind*mi di puncak
Kalau kamu suka alam tapi tak sanggup mendaki tempat tinggi, hobinya makan ind*mi pula, Gunung Andong adalah surga. Gunung setinggi 1692 mdpl ini bisa ditaklukkan dengan berjalan 1-2 jam. Reward-nya, kamu bisa beli gorengan dan ind*mi di atas. Ya, gunung ini satu-satunya yang ada penjual di puncaknya. Unik bukan?
Rewel hampir sepanjang jalan turun
Mencapai puncak adalah satu pencapaian. Kembali ke rumah dengan selamat adalah tujuan.
Berjalan turun lebih berat diabanding saat naik. Tidak percaya? Buktikan. Sebab, saat turun kita harus menahan bobot tubuh kita. Apalagi jika langsungan. Itu sebab, banyak pendaki muda yang memilih berlari dari atas. Supaya tidak terlalu capek. Hati-hati ada pohon dan batu, ya!Â
Anak kami rewel hampir sepanjang jalan turun. Mendoan hangat favoritnya tak mempan. Coklat, mainan, semua tak mempan. Dia minta permen, di tiap warung di gunung ini tak ada yang menjual. Repot kan. Aku dan istri harus menggendong lagi. Mantab!
Sesekali kami dorong anak untuk berjalan, "Papa dan Mama capek, Nak." Kai juga ajak dia bermain dengan mengangkat tangan di kiri dan kanan, lalu melompat. Dia suka melakukannya.
Kesimpulan
Mengajak anak balita mendaki memang tak mudah. Kalau tak mau jalan, orang tua harus menggendong. Jika tidak, tak akan pernah sampai . Namun, demi mengajari anak cinta pada alam, dan melatihnya untuk menaklukkan diri; pantas dicoba. --KRAISWANÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI