Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kamu yang Puasa, Aku yang Buka Duluan

23 April 2022   15:08 Diperbarui: 23 April 2022   17:20 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbuka puasa | foto: istockphoto via tirto.id

Suatu sore, aku mengajak anak dan istri ke kampung asalku. Berjarak 15 menit naik motor dari domisili kami. Selain mengunjungi orang tua, kami bermaksud meminta kompos di tempat Pakde (paman) yang beternak sapi. Beginilah, hobi bertanam tapi minim modal, hehe.

Kami tiba di rumah Pakde sekitar jam 4 sore. Aku sempatkan menyapa dan mengobrol ringan dengan Pakde yang sedang memberi minum tiga sapinya usia tanggung. Sedang istriku dan si bayi masih di depan rumah, dikerubungi para tetangga dan kerabat. Biasalah, di mana pun bayi selalu menjadi pusat perhatian.

Tak lama, aku segera mengambil karung dan sekop, mengarungi kompos di belakang rumah Pakde dari gundukannya. (Sedang istri mengajak si bayi melihat sapi milik Pakde) Aku ambil dua karung ukuran sedang. Setelah mengangkat ke depan rumah, kakak sepupu pulang dari kerjanya. Kami pun mengobrol ringan, mulai dari pekerjaan, keluarga dan hobi.

Dari dalam rumah, lantang teriakan si bayi yang baru digendong dibawa masuk oleh Bude. Si bayi takut dengan gelap, apalagi di tempat yang baru/ belum pernah didatangi sebelumnya. Ruang dapur Pakde minim pencahayaan. Surya pun pamit menuju peraduannya. Itu artinya waktu berbuka puasa tiba.

Di sinilah aku mengalami uniknya toleransi. Pengalamanku bisa saja berbeda sudut pandang dengan kebanyakan. Justru di sinilah seninya, kawan. Meski di tempat saudara sendiri, aku tahu diri. Menjelang maghrib, aku sudah niat mengajak anak-istri undur diri.

Namun, rupanya waktu si kecil melihat sapi, kakak ipar (perempuan) yang sedang menyipkan menu berbuka sudah menyajikan semangkok kolak untuk masing-masing aku dan istri. Ditambah "instruksi" dari Bude agar masuk rumah dan menyantap kolak, kami tak berkutik. Nah kan,

Kamu yang puasa, aku yang buka duluan

Dengan penuh sungkan, aku minta izin untuk "buka" duluan. Lebih tak enak menolak pemberian mereka, bisa menyinggung perasaan. Aku menikmati kolak dengan penuh syukur dalam balutan indah toleransi.

Di sinilah keunikan lain toleransi dalam pengalamanku. Keluarga besarku terdiri dari beragam keyakinan. Kakek beragama muslim bersama anaknya nomor dua dan empat. Anak nomor satu beragama Budha, sedang anak nomor tiga (ayahku) beragama Kristen. Meski berbeda keyakinan, kami tak pernah bertengkar/ mempermasalahkan hal itu.

Setiap bulan puasa, kami diajari agar tak bertamu di jam berbuka. Tujuan utamaku ke rumah Pakde itu adalah meminta kompos. Tapi karena mendekati jam buka dan kami malah diberi takjil, jadi buka duluan deh. (Padahal, bisa jadi alasan supaya Bude menggendong si bayi lebih lama, hehe)

Pengalamanku ini sekaligus mengonfirmasi komentar di salah satu artikelku sebelumnya. Bahwa jika aku tidak puasa, lalu bertamu ke rumah orang yang berpuasa, masa si tuan rumah harus menyuguhkan minuman/ kudapan bagiku? Di luar kondisi bahwa aku di rumah Pakde, si tuan rumah menjamuku juga. Pas juga waktu menjelang berbuka.

Padahal jika mau, Pakde dan keluarganya punya cukup alasan untuk tidak menyuguhkan hidangan dan mempersilahkan kami duduk. Mereka harus mandi, beberes, segera berbuka dan sholat. Tapi, toleransinya terjadi di sisi sebaliknya. Mereka yang berpuasa, tapi mereka yang memaklumi kami yang tidak berpuasa.

Timbul pertanyaan, jika aku tidak mengajak si bayi, akankah Pakde dan keluarganya menyuguhkan kami kolak? Hampir pasti tidak. Kenapa? Begini, aku bisa saja pergi sendiri, istri tetap di rumah menjaga si bayi.

Aku bisa menyelesaikan urusanku dengan cepat, sehingga tidak mepet ke jam buka. Jadi Pakde tidak perlu mempersilahkan aku masuk. Aku bisa pulang sesegera setelah selesai. Jadi si bayi adalah faktor penentunya? Silahkan direnungkan pribadi.

Sebagai penutup, aku mengucapkan terima kasih kepada Pakde dan keluarga. Juga mengapresiasi anda, yang harus mengalami banyak tantangan (harus lebih bertoleransi kepada orang lain, kerabat mungkin) saat menjalankan puasa. Kiranya setiap ibadah kita menjadi berkah bagi sesama dan memuliakan Allah. --KRAISWAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun