Selain lebih cepat juga hemat karena pasien yang datang langsung tanpa aplikasi (istilahnya janjian dengan dokter begitu) harus meminta rujukan dari dokter, keluar biaya lagi. Kesulitan lain bersusulan. Pembayarannya via saldo halodoc, gopay atau klik BCA. Dan... kesemuanya saldo saya nol. Beginilah nasib anak rumahan. Pembayaran masih valid dengan uang cetak, tak perlu alat tukar macam-macam.
Calon saya berbagi saldo gopay untuk membayar. Itu pun eror. Padahal jadwal tes yang tersedia hanya jam 09.00, 10.00, dan 11.00. Itu terjadi H-1 sebelum pilkada yang ditetapkan presiden sebagai libur nasional. Saya harus "menyelinap" di tengah keruwetan wali kelas yang mengolah nilai.
Pendaftaran lewat halodoc ini, satu aplikasi untuk satu orang. Calon saya mendaftarkan saya lewat akunnya, berhasil. Sedangkan saat saya mendaftarkannya dengan akun saya, gagal. Gawat. Sampai mendekati jam 11.00 belum ada konfirmasi "lunas" dari aplikasi. Padahal sudah berkali-kali mencoba. Saya hampir putus asa, maunya langsung saja ke lab. Tapi calon saya kekeuh, karena sudah terlanjur mengirim saldo.
Betullah pepatah, mencobalah selagi bisa, tak peduli ribuan kali. Jam 11.03 saya coba kirim balik saldo ke akun calon, dan bisa! Aplikasi ini sensi dengan saya. Satu hal, untungnya aplikasi ini toleran. Idealnya, lewat satu menit pun tak bisa.
Ini akibat kalau segala sesuatu dikerjakan mendadak. Karena menunda berarti mendekatkan diri pada kegagalan dan masalah.
Rupanya tidak hanya orang semacam kami yang berkepentingan. Puluhan, dari yang mau perjalanan luar kota, mahasiswa, atau mencari kerja, memadati lab kecil di Salatiga ini. Kami keduluan sekitar 20 pengantri, jadi bisa ditinggal mengerjakan hal lain. Hasil tes bisa diambil dua jam setelah pengambilan sampel darah.
Berikutnya, yang membuat ketar-ketir adalah hasilnya. Bagaimana kalau ini, jika itu... Sebisanya saya tetap berpikiran positif, karena pikiran sebaliknya tidak memberi faedah apa pun. Dan hasilnya, baik saya dan calon nonreaktif. Puji Tuhan!
Prasyarat sudah OK, bekal dan perlengkapan aman. Tinggal teknis penerbangan. Rute kami dari Jogja, transit di Jakarta lanjut ke Medan. Pesawat kami take off jam 08.00 dari Adi Sucipto Jogja, itu artinya minimal tiga jam sebelumnya kami sudah meluncur. Oleh calon adik ipar yang akan mengantar disarankan berangkat jam 03.00 subuh. Mantab!
Sepanjang jalan lengang, jadi dalam dua jam kami tiba. Bandara sepi, gelap, seolah tanpa penghuni. Apakah kami nyasar? Atau salah jadwal, hari libur...? Hadir satu dua mobil berlalu. Ternyata kami kepagian. Satpam dan petugas bandara baru datang. Waktu kami mau masuk petugas menghalangi, lagi persiapan katanya, hehe.
Bayang-bayang kekhawatiran tentang ancaman virus Corona tidak serta merta hilang. Kami harus menjagai diri sendiri demi keselamatan bersama. Masker N95 selalu membungkus separuh muka. Cairan antiseptik sedia setiap memegang benda yang dipegang orang lain.