Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - orang biasa yang menulis karena kepengen

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang, Terulang

17 April 2021   15:58 Diperbarui: 17 April 2021   16:00 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kamu tidak hadir dari rahimku sendiri, kamu seharusnya bukan milikku, tapi kamu, manusia, sesungguhnya milik Tuhannya. Ketika seseorang datang menitipkanmu padaku. Lalu, seperti tidak lama berselang, mereka merenggutmu kembali dariku. Rasanya aku patah hati selamanya...

Penerbangan ke Singapura ini tidak terasa semenyenangkan yang dibayangkan orang-orang. Mungkin orang lain merasa senang karena mereka mengharapkan sebuah liburan yang menyenangkan, sementara aku, aku pergi untuk melupakanmu, anakku.

"Mam? Kamu diem aja kayak patung. Kita mau ke Singapore loh ini! Smile!"

Agnes menatap suaminya, usia mereka terpaut sangat jauh, bagaikan ayah dan anak kalau kata orang. Mereka memang benar, anak suamiku bahkan lebih tua usianya dariku. Tapi itulah cinta, aku mencintainya, ya aku bahkan tidak mempertanyakan usia dan masa lalunya, aku hanya melihatnya dan aku memutuskan untuk setia pada pria ini.

"Pap, aku nggak kepengen ke Singapore. Aku cuman rindu sama Koko..."

"Ah, Koko terus, aku kan jadi cemburu. Masa kamu lebih sayang Koko daripada sama suami kamu sendiri." Rozak mengerucutkan bibirnya mencoba menggoda Agnes. Agnes hanya tersenyum, "Maaf.." katanya lalu menggenggam tangan suaminya lembut. Tak lama kemudian Agnes memalingkan wajahnya ke kaca pesawat yang beranjak naik ke ketinggian. Rozak tahu benar kebiasaan istrinya, jika dia memalingkan wajah ke kaca berarti dia sedang menangis.

Koko mengacak-acak kotak perkakas di dekat kulkas saat Agnes baru saja kembali dari kios sebelah untuk menukar uang pecahan miliknya, dia butuh kembalian untuk pelanggan.

"Ya ampun, Ko...! Tajam itu Nak." Agnes segera menggendong Koko dengan diiringi wajahnya yang mulai cemberut hendak menangis, dan pecahlah tangisannya saat Agnes meraih obeng dari genggaman Koko.

"Cup...cup..." Agnes menimang Koko sembari berjalan ke meja kasir.

"Ini kembaliannya, ya."

"Duh, lucu anaknya Ce, umur berapa? Mirip Abah Rozak wajahnya." celetuk si pelanggan yang seorang ibu paruh baya. Dia pelanggan tetap tokonya Agnes untuk barang-barang elektronik yang bakal dia jual lagi di kampungnya di Bogor.

Agnes tersenyum senang mendengarnya, sementara Koko masih saja menjerit-jerit dan baru diam setelah Agnes menyodorkan susu botolnya. Tak lama kemudian Koko terkantuk-kantuk dalam gendongannya. Agnes meletakkan Koko ke sebuah dipan kecil tak jauh dari tempatnya. Dengan penuh bantal di semua penjuru, khawatir Koko akan terjatuh dari tempat tidurnya, karena ini bukan pertama kali Koko terjatuh dari dipannya.

Wajah tidur Koko selalu menyenangkan hati Agnes, di sela-sela waktunya menjaga toko dengan puluhan orang yang datang setiap harinya, melelahkan. Hanya wajah dan tawa Koko yang menguatkan Agnes. Airmatanya menitik saat sedetik kemudian datanglah pelanggan mencari kipas angin dan televisi 14 inch.

"Iyaa... Samiun, cepat ambilkan itu!" Agnes menyeka airmata dan memanggil asistennya untuk membantu. Dalam keseruan tawar-menawar antara penjual dan pembeli itu, ada sesosok manusia kecil yang tetap terlelap, tak peduli seriuh apapun keadaannya. Dengan mulutnya yang sesekali seperti mengedot, sangatlah imut.

"Ambil aja si Koko."

Agnes terkejut mendengar kata-kata suaminya saat mereka tengah makan malam bertiga. Koko memain-mainkan makanan di hadapannya, tidak peduli.

"Papi serius?" tanyanya lagi, hampir saja Agnes melompat girang mendengarnya.

"Aku sih belum nanya ke Saroh, tapi kondisi ekonominya sedang gak bagus, anaknya juga sudah ada lima yang harus dia jaga." Rozak mengunyah makanannya sambil matanya menerawang.

"Lagipula kita belum dikaruniai anak. Aku juga sudah setua ini, mana mungkin bisa bikin kamu bunting. Spermaku sudah semakin menua sepertiku." Rozak mengelus kepala Koko yang masih saja tidak memerdulikan percakapan dua orang dewasa di sampingnya.

Demi Tuhan ini adalah hari baik bagi Agnes, siapa juga yang tak senang, di tengah keinginannya yang teramat sangat untuk mendapatkan momongan, dunianya yang sebelumnya berputar kencang, menjadi lambat dan menyenangkan saat bayi Koko hadir di pangkuannya.

"Abah, aku nitip anakku. Kami sudah tidak punya uang untuk membelikan susu dan semua keperluannya." Saroh berkata sambil matanya berkaca-kaca. Saroh menangis saat bayinya berpindah dari tangannya ke ibu tirinya yang terpaut jauh lebih muda darinya. Serasa ada yang tercerabut dari akar dirinya, tetapi Saroh memilih pasrah. Bukan keinginannya untuk menelantarkan bayinya. Tetapi keadaan memaksanya untuk mencari orang yang paling dia percaya untuk menitipkan anaknya, dan berjanji akan menjemputnya kembali kelak, ketika keadaannya sudah memungkinkan.
Agnes bukannya berniat melupakan hari itu, hari dimana bayi Koko hadir di hadapannya.
"Tapi Pap, bagaimana kalau Saroh tidak berubah pikiran?" Tanya Agnes sambil membawakan kopi seduhannya untuk suaminya. Koko sedang dibopong oleh kakeknya mengelilingi teras rumah, tawanya riuh dan menyenangkan siapapun yang mendengarnya.

"Ya, nanti aku dan Saroh akan membicarakannya. Lagipula masih belum ada kabar dari Saroh sampai sekarang." Rozak menyeruput kopi panas di hadapannya. Dia selalu suka kopi panas. Koko sudah berpindah dari punggung kakeknya ke pangkuan neneknya. Agnes langsung asyik bernyanyi puk ami-ami bersama Koko yang tertawa setiap kali lagunya berakhir dengan gelitikan di perutnya yang buncit.

"Abah, kami bermaksud menjemput Koko pulang ke Kediri." begitu kata Soleh, sang menantu, di suatu pagi yang lengang di hari Minggu. Agnes ingat sekali waktu itu karena Koko baru saja belajar mengendarai sepeda roda tiga bersamanya di gang depan rumah.

"Buat apa pulang ke Kediri?" Rozak menimpali menantunya dengan pertanyaan. Dia tak begitu suka dengan Soleh, bagi Rozak, menantunya ini tak sesuai dengan harapannya. Hanya guru ngaji pondok yang penghasilannya tak tentu dan berpenampilan terlalu sederhana alias lusuh. Sementara putrinya yang entah terkena sihir apa, terpikat dengan kesolehan Soleh, dan rela membanting tulang berdagang apa saja di pasar demi memberi makan keluarganya. Rozak membenci kenyataan bahwa kehidupan putri kesayangannya begitu pahit, namun dia begitu tegar dan tidak punya niatan untuk meninggalkan Soleh sama sekali.

Sebenarnya Maisaroh sudah menelepon ayahnya sekitar seminggu lalu untuk memberi kabar bahwa dia dan suaminya berniat untuk menjemput Koko dan membawanya pulang untuk berkumpul kembali bersama saudara-saudaranya yang lain.

"Koko itu dari bayi sampe jalan sampe sekarang belajar naik sepeda sama aku, Saroh. Sama ibu kamu juga, ibumu itu sangat sayang sama Koko." ucap Rozak dengan nada setengah berbisik tetapi penuh tekanan saat bercakap dengan Saroh di telepon. Agnes tak sengaja mendengar saat dia hendak ke dapur hendak menyiapkan susu untuk Koko. Dunia Agnes kembali berputar cepat. Dia bergegas meyiapkan susu dan kembali ke kamar dan menguncinya. Di kamar diapun memeluk Koko erat dan menangis terisak.

Agnes menciumi Koko, dia membawakan banyak kudapan kesukaan Koko, kue keranjang adalah salah satunya. "Koko suka kue keranjang, walaupun yang dimakan lebih sedikit dari yang diacak-acak." kata Agnes pada Saroh. Dia berusaha untuk terlihat tegar, meskipun nada bicaranya sedikit bergetar. Pahit, dimana dia harus kehilangan bayi mungilnya, dan dia harus menghadapi malam-malam berikutnya yang dingin tanpa kehangatan bayi mungilnya. Sampai kapanpun, Agnes akan menganggap Koko demikian.

Pesawat mendarat lembut di landasan bandara Changi. Agnes memilih untuk keluar paling akhir.

"Pap, kenapa Saroh tidak pernah kirim kabar Koko ke kita?"

Rozak tidak berbicara, dia peluk istrinya erat lalu mengecup keningnya, "Aku berniat membangun bisnis disini. Kita akan tinggal disini cukup lama, cukup lama untuk membantu kamu lupa sama Koko. Ingatlah bahwa kita selalu mencintai Koko dimanapun dia berada dan bagaimanapun keadaannya. Kita doakan saja yang terbaik untuk Koko dan melanjutkan hidup kita."

Rumah Sakit Fatmawati begitu megah kelihatannya, tetapi warnanya tetap pucat dan muram. Banyak keluarga pasien dan pasien berlalu-lalang, keluar masuk gedung. Tidak ada yang ceria, hampir semuanya muram dan beku. Agnes baru saja turun dari mobil dengan dibantu asistennya. Dia melangkah masuk mengikuti lorong-lorong yang menyambutnya dingin. Keempat ajudannya berdiri di kanan kirinya, seperti hendak merelakan nyawanya demi keselamatan sang Nyonya Besar. Mereka akhirnya sampai di satu kamar yang mewah, tapi bagaimanapun Rumah Sakit tak pernah bisa membuat siapapun senang berlama-lama di dalamnya. Agnes melihat beberapa orang berkumpul di dekat pintu masuk, dan dia seperti mengenali salah satu diantara mereka.

"Ah, mungkin hanya perasaanku saja...atau sebaiknya aku tanyakan pada Saroh nanti." begitu bisiknya dalam hati.

Satu per satu orang-orang itu mencium tangannya, sampai pada satu orang yang dia seperti sangat mengenalnya namun dia memilih tak bergeming.

Di dalam kamar, nampak Saroh tergeletak lemah dengan selang infus dan monitor mengelilingi tubuhnya. Agnes mendekat dan menggenggam tangan putrinya erat, matanya berkaca-kaca melihat putrinya tergolek lemah dan kesakitan.

"Mama bisa bantu apa buat meringankan sakitmu, Saroh?" tanyanya perlahan. Saroh tersenyum, "Nggak ada, Mam. Mama sudah banyak bantu Saroh dan anak-anak..." Saroh berhenti bicara, dia kelelahan dan seperti sedikit kesulitan bernafas. "Terima kasih." begitu ucapnya lagi lirih, airmatanya berlinang. Kedua wanita itu kini saling berhadapan dan menangis.

Agnes menyeka airmatanya, lalu bertanya "Itu yang berdiri di luar itu ..." belum sempat Agnes melanjutkan ucapannya, Saroh mengangguk seperti mengerti apa yang hendak dia katakan.

Empat puluh tahun lebih, Agnes berusaha menenggelamkan dirinya dalam kesibukan dan berhenti memikirkan Koko dan sekarang dia sudah menjadi seorang pria dewasa. Walaupun Agnes dan Saroh acapkali bertemu, tetapi Agnes tidak pernah menjumpai Koko. Agnes hanya mendengar kabar Koko dari cerita ibu dan beberapa saudara kandungnya. Mereka seperti tidak memahami Agnes, atau mungkin karena Agnes adalah sang nenek, tidak ada yang pernah menyangka begitu besar rasa sayangnya pada sang cucu yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

"Kamu ngerti aku ini siapa?"

Koko menggeleng saja seperti orang ling-lung. "Memangnya Ibu siapanya emak saya?" dia malah balik bertanya seperti orang sotoy saja. Geli juga Agnes sebenarnya, tetapi dia memilih menjaga citra diri di hadapan Koko yang sudah menjadi dewasa sekarang. Namun, diam-diam Agnes masih menganggapnya seperti balita empat tahun. Pikirannya kembali mengembara ke masa itu.

"Panggil aku Mami. Aku sebenarnya mami kamu, dulu." Koko hampir pingsan dibuatnya. Tak lama kemudian, Koko benar-benar pingsan.

Koko terbangun dan terkejut saat menyadari dirinya terbaring di ranjang dengan pemandangan serba putih, apa aku meninggal, pikirnya. Dia lantas melihat sosok wanita yang membuatnya mengingat terakhir kali sebelum dia tidak sadarkan diri.

Wanita itu dengan asyik mengupas kulit jeruk dan memakannya sendiri.

"Kata dokter, kamu pingsan karena sakit thypus. Kamu istirahat aja, ini jeruk kamu belum boleh makan ya, jadi ini untuk Mami." katanya sembari mengunyah.

"Terserah ibu eh, mami deh."

Tak lama kemudian Koko minta ijin ke toilet untuk muntah. Agnes menghela nafas, akhirnya anak ini pulang ke aku, begitu pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun