Mohon tunggu...
wandi aprizal
wandi aprizal Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Wandi Aprizal Mahasiswa aktif program studi pendidikan sejarah Universitas Siliwangi. Saya memiliki hobi membaca buku dan novel. Topik kesukaan saya adalah mengenai ilmu yang membatu saya untuk merefleksikan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Revitalisasi Kultur Sekolah Pasca PANDEMI COVID- 19: ANTARA ADAPTASI Atau Krisis Nilai

12 Oktober 2025   11:22 Diperbarui: 12 Oktober 2025   11:51 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid- 19 telah merubah banyak hal dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Bukan hanya merubah proses pembelajaran menjadi daring, banyak hal yang merupakan dulunya kultur sekolah yang positif seakan pudar menghilang. Setelah hampir dua tahun pendidikan dilaksanakan secara daring, dan sekarang sekolah harus berpikir bagaimana cara untuk mengembalikan kembali nilai- nilai positif dari kebudayaan atau kultur positif yang dulu ada di sekolah seperti disiplin, tanggung jawab, dan kebersamaan antara siswa. Perubahan ini tidak hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial dan budaya yang berkaitan dengan cara masyarakat sekolah beradaptasi dengan perubahan besar (Nurlaela, 2023).

Dari sudut pandang sosiologi pendidikan, sekolah adalah lembaga sosial yang bertugas memberi nilai dan norma kepada generasi muda. Emile Durkheim menjelaskan bahwa pendidikan penting untuk menjaga ketertiban sosial melalui penerapan nilai dan moral. Namun, terjadinya pandemi mengganggu segalanya dan pada saat tersebut pembelajaran dilakukan melewati daring sehingga hubungan antara guru dan siswa seakan memiliki jarak, nilai-nilai seperti kedisiplinan, tanggung jawab, dan sopan-santun akan sulit terbentuk. Pembelajaran dengan daring menyebabkan banyak siswa yang kehilangan semangat belajar dikarenakan adanya kebebasan dan kurangnya pengawasan yang ketat. Akibatnya, ketika sekolah kembali dibuka muncul masalah nilai di kalangan siswa, seperti menurunnya disiplin, etika, dan semangat belajar (BPS, 2024).

Dari sudut pandang antropologi pendidikan, pandemi juga menyebabkan perubahan pada sistem makna dan simbol yang ada di sekolah. Menurut Clifford Geertz, pendidikan adalah tempat di mana nilai-nilai budaya diwariskan melalui simbol dan kegiatan sehari-hari. Sebelum pandemi, kultur sekolah aktif dilakukan pada saat kegiatan seperti upacara bendera, kerja bakti, salam pagi dan lain sebagainya. Sekarang, budaya tersebut harus dihidupkan kembali supaya tidak kehilangan maknanya. Setelah kurang dari dua tahun tanpa melakukan kegiatan rutin tersebut, banyak sekolah mulai kehilangan rasa kebersamaan dan identitas budayanya. Kultur sekolah yang sebelumnya menjadi "jiwa" pendidikan kini hanya berubah menjadi formalitas saja. Sekolah yang tidak mampu menyesuaikan kultur dengan baik justru mengalami penurunan kualitas pendidikan karena hilangnya semangat belajar dan kerja sama di antara semua warga sekolah.

Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2023) menunjukkan bahwa guru di berbagai sekolah dasar menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali karakter siswa setelah masa belajar daring. Banyak siswa menjadi kurang disiplin, kurang menghargai guru, dan cenderung pasif dalam kegiatan sekolah. Hal ini membuktikan bahwa pandemi tidak hanya menyebabkan kehilangan kemampuan belajar (learning loss) tetapi juga kehilangan nilai-nilai karakter (value loss), yaitu nilai-nilai yang terbentuk melalui interaksi sosial di sekolah. Dari sudut pandang sosiologi pendidikan, kondisi ini menunjukkan adanya disfungsi dalam peran lembaga pendidikan (Sukadari, 2020).

Membangun kembali kultur sekolah yang positif merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah memerlukan adaptasi kultur positif yang dulu sudah menjadi daya tarik sosial. Peran kepala sekolah sangat krusial sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah harus mampu menanamkan kembali nilai-nilai yang positif seperti disiplin, tanggung jawab, dan gotong royong melalui contoh yang baik. Menurut Murtafik et al. (2024), memperkuat budaya sekolah dapat dilakukan dengan pendekatan kolaboratif antara guru, siswa, dan masyarakat. Contohnya melalui kegiatan bersama seperti Jumat bersih, literasi pagi, refleksi nilai Pancasila, atau projek kolaboratif yang mendorong kesadaran sosial siswa.

Di samping itu, guru sebagai faktor atau aktor utama dalam proses pendidikan perlu menjadi teladan dalam setiap perbuatan. Budaya sekolah yang kuat tidak hanya dibentuk dari aturan, tetapi juga dari kebiasaan dan contoh yang konsisten. Guru dapat menyampaikan nilai-nilai sosial melalui interaksi kecil sehari-hari, seperti memberikan apresiasi kepada siswa yang berperilaku baik, menciptakan suasana kelas yang inklusif, serta mendorong rasa saling menghargai antara siswa dan guru. Dalam perspektif antropologi pendidikan, tindakan-tindakan simbolik ini merupakan bentuk enkulturasi, proses peninggalan nilai dan norma melalui praktik sosial yang bermakna (Suhaeni & Sridiyatmiko, 2022). Dengan demikian, pembentukan ulang budaya sekolah seharusnya dilihat sebagai proses sosial yang melibatkan seluruh pihak, bukan sekadar program yang disusun oleh birokrasi pendidikan.

Namun, revitalisasi budaya sekolah tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan dari sistem pusat secara keseluruhan. Pemerintah harus mendorong kebijakan yang memperkuat atau mendukung dalam pengembangan karakter dan budaya sekolah secara terus-menerus. Program Merdeka Belajar yang sedang berjalan saat ini seharusnya tidak hanya fokus pada fleksibilitas pembelajaran, tetapi juga fokus pada penguatan nilai-nilai budaya sekolah sebagai bagian dari Profil Pelajar Pancasila. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2024), sekitar 26% sekolah di Indonesia masih mengalami keterbatasan dalam fasilitas dan dukungan sosial, sehingga membuat kegiatan kultur sekolah sulit dilakukan secara rutin. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat untuk memperkuat kembali nilai-nilai yang mendasari kualitas pendidikan.

Revitalisasi budaya sekolah setelah masa pandemi adalah kesempatan untuk membangun pendidikan yang lebih baik dan memiliki nilai. Pandemi telah menunjukkan bahwa teknologi tidak bisa menggantikan peran sosial dan budaya dalam dunia pendidikan. Sekolah tidak hanya perlu beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi juga harus kembali kepada tujuan utama pendidikan, yaitu proses pembentukan karakter siswa. Dengan menanamkan kembali nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, gotong royong, dan empati, sekolah bisa menjadi tempat pembentukan karakter yang nyata. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan dan sebagai calon guru, kita memiliki tanggung jawab penting untuk memahami bahwa mengajar bukan hanya tentang mengajarkan materi saja, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kultur sekolah yang kuat dan positif akan menjadi fondasi utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang berwatak, adaptif, dan berintegritas.

Sumber Referensi:

Sukadari, S. (2020). Peranan Budaya Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal UPY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun