Dekade 2010-an terasa seperti dunia sedang terbakar. Dari Lapangan Tahrir di Kairo, jalanan Hong Kong, hingga gerakan Occupy Wall Street di New York, jutaan orang turun ke jalan dengan keyakinan yang sama: sesuatu harus berubah.
Namun, satu dekade kemudian, apa yang kita lihat? Hampir tak ada revolusi yang berhasil. Banyak gerakan yang runtuh atau dikooptasi. Bahkan, dalam beberapa kasus, rezim otoriter justru makin kuat.
Inilah paradoks yang coba dipahami Vincent Bevins dalam bukunya If We Burn: The Mass Protest Decade and the Missing Revolution: bagaimana mungkin keberanian begitu besar menghasilkan perubahan yang begitu kecil?
Gambaran Besar: Api Besar, Revolusi yang Redup
Bevins menelusuri gelombang protes yang merebak sejak 2010, dipicu oleh media sosial, frustrasi ekonomi, dan kekecewaan politik. Dari luar, gerakan-gerakan ini tampak kuat: massa jutaan, gambar viral, rezim terguncang.
Namun, ia menekankan perbedaan penting: mobilisasi bukanlah organisasi. Mengumpulkan orang ke jalan itu satu hal, tetapi mengubah energi itu menjadi institusi yang bertahan lama adalah hal lain. Tanpa organisasi, protes sering berakhir sebagai pertunjukan. Indah, menggugah, tapi cepat padam.
Cerita dari Lapangan
Buku ini penuh dengan kisah nyata:
Di Brasil, protes 2013 yang berawal dari kenaikan tarif bus berubah liar, berakhir dengan naiknya Jair Bolsonaro ke tampuk kekuasaan.
Di Mesir, jatuhnya Hosni Mubarak tidak melahirkan demokrasi, tetapi pemerintahan militer yang lebih keras di bawah Abdel Fattah el-Sisi.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!