Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hijau Tak Cukup, Harus Adil

4 Agustus 2025   00:35 Diperbarui: 4 Agustus 2025   00:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generated by Dall-E

Menuju Indonesia Emas 2045 yang adil, makmur, dan tahan iklim bukanlah sekadar proyek infrastruktur atau target penurunan emisi. Ini adalah soal menghadapi dilema manusia yang dalam: bagaimana menghentikan ketergantungan pada batu bara dengan cara yang menghormati suara lokal, budaya, dan keberlanjutan hidup masyarakat di daerah tambang. Transisi energi bukan hanya tentang mengganti sumber energi, melainkan menyatukan ulang tatanan ekonomi dan sosial yang telah bergantung selama puluhan tahun pada sektor ekstraktif.

Hingga hari ini, lebih dari 60% pasokan listrik nasional masih disuplai oleh batu bara, didukung oleh lebih dari 276 PLTU dengan total kapasitas 35.000 MW. Infrastruktur ini sebagian besar menyuplai kawasan Jawa dan Bali. Wilayah industri dan urban yang menikmati kenyamanan pasokan listrik. Namun, ekstraksi lebih dari 500 juta ton batu bara per tahun membebani Kalimantan dan Sumatra, baik dari segi lingkungan, kesehatan, maupun kesejahteraan sosial.

Ketimpangan ini bukan hanya masalah geografis atau teknis, melainkan soal keadilan. Masyarakat yang tinggal di sekitar tambang harus menanggung dampak dari nafsu energi nasional. Mereka mengalami kerusakan lingkungan, kehilangan mata pencaharian, dan ancaman kesehatan, sementara manfaat energi justru lebih dinikmati di tempat lain. Inilah mengapa pendekatan transisi energi harus dibingkai dalam konsep Just Transition, atau transisi yang adil. Sebuah pendekatan yang memastikan tidak ada yang tertinggal dalam peralihan menuju ekonomi rendah karbon.

Ambil contoh Kalimantan Timur. Dalam dua dekade terakhir, 19% tutupan pohon di provinsi ini hilang, sebagian besar karena tambang batu bara. Lebih dari 1.000 lubang bekas tambang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi, menciptakan risiko keselamatan dan bencana ekologis. Seiring menurunnya permintaan batu bara global, masyarakat di wilayah ini menghadapi ketidakpastian ekonomi, tanpa jaring pengaman atau rencana pelatihan ulang yang memadai.

Meskipun Indonesia telah menandatangani Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar dan menetapkan target ambisius 23% energi terbarukan pada 2025, kerangka kerja yang ada sering kali lebih fokus pada kuantitas: berapa MW pembangkit baru yang dibangun, seberapa besar proyek yang bisa dipamerkan. Namun, dimensi sosial dan keberlanjutan jangka panjang seperti pelatihan ulang tenaga kerja, pemeliharaan, dan kepemilikan komunitas sering kali luput dari perhatian.

Banyak proyek energi terbarukan di daerah terpencil seperti mikrohidro atau panel surya skala desa gagal berfungsi secara berkelanjutan. Mengapa? Karena masyarakat tidak dilibatkan sejak awal. Tanpa pelatihan, pemeliharaan, dan rasa memiliki, proyek ini menjadi aset terdampar---baik secara finansial maupun sosial. Padahal, Indonesia memiliki tradisi panjang dalam pengelolaan sumber daya bersama secara lestari, seperti sistem sasi di Maluku atau lubuk larangan di Sumatra, yang mencerminkan semangat gotong royong dan musyawarah.

Transisi energi Indonesia tidak bisa terus terjebak dalam seremoni peluncuran proyek dan angka-angka besar. Ia harus menjadi gerakan rakyat. Kebijakan nasional yang dirancang untuk Jawa belum tentu cocok untuk Papua atau NTT, di mana jaringan listrik terbatas dan masyarakat memiliki relasi erat dengan alam. Tanpa menjahit konteks lokal ke dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan, transisi energi akan menjadi proyek kosong: besar di atas kertas, tetapi dangkal di lapangan.

Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan

Agar transisi ini tidak hanya hijau, tetapi juga adil, Indonesia perlu melakukan lima langkah berikut:

  • Zona Transisi Adil di Wilayah Tergantung Batu Bara
    Kalimantan dan Sumatra bisa dijadikan zona percontohan. Dengan data satelit, statistik ketenagakerjaan, dan dampak lingkungan, pemerintah dapat memetakan komunitas yang paling rentan. Dana dari JETP atau obligasi hijau bisa difokuskan ke pelatihan kerja baru, restorasi ekosistem (seperti rehabilitasi gambut dan penanaman mangrove), dan pengembangan koperasi pangan serta energi lokal.
  • Mendirikan Nusantara Energy Commons di Desa
    Model koperasi energi desa seperti yang telah berhasil di Sumba bisa direplikasi. Kunci keberhasilannya adalah adanya Free, Prior, and Informed Consent serta pengakuan hukum terhadap kelembagaan adat. Koperasi ini tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga penghasilan, kemandirian, dan ketahanan sosial.
  • Platform Kebijakan Terpadu untuk Pekerjaan Hijau dan Tata Kelola Lokal
    Pemerintah bisa membentuk Just Transition Task Force untuk menyatukan visi nasional dan realitas lokal. Dukungan fiskal---seperti insentif pajak dan kredit murah---harus diarahkan ke koperasi energi, khususnya di wilayah pasca-tambang. Program seperti Koperasi Merah Putih yang sudah berjalan bisa disinergikan dengan agenda transisi energi.
  • Integrasi Indikator Keadilan dalam Rencana Energi Nasional
    RUPTL dan RUEN perlu memasukkan Energy Justice Scorecard yang mengukur inklusivitas, kesetaraan gender, pembagian manfaat, dan perlindungan ekologis. Proses AMDAL harus mereformasi diri agar benar-benar mendengar suara adat dan warga desa.
  • Diplomasi Transisi Adil di Tingkat Regional dan Global
    Indonesia bisa menjadi pelopor Just Transition Diplomacy di ASEAN dan negara-negara Global South. Dengan berbagi praktik baik dan pengalaman tantangan, Indonesia bisa memimpin narasi baru bahwa transisi energi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang martabat dan keadilan.

Menutup Era Batu Bara, Membuka Jalan untuk Komunitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun