Indonesia tengah menghadapi paradoks energi. Di satu sisi, pemerintah mencanangkan target ambisius bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun pada kenyataannya, hingga 2024 porsi energi terbarukan baru mencapai 13,93%, sementara sistem kelistrikan nasional masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat tajam.
Proyeksi menyebutkan bahwa pada 2045, permintaan energi Indonesia akan meningkat tiga kali lipat, didorong oleh konsumsi rumah tangga dan industri. Tantangan utamanya bukan hanya soal menambah pasokan energi, tetapi bagaimana mengelola konsumsi secara lebih cerdas dan efisien.
Di tingkat global, tren serupa juga terjadi. Permintaan energi dunia naik 2,2% pada 2024, melampaui rata-rata dekade sebelumnya yang hanya 1,3%. Sebagian besar pertumbuhan ini datang dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, pendekatan dominan selama ini hanya terpaku pada peningkatan pasokan---entah itu dari batu bara, gas alam, maupun tenaga surya.
Padahal, satu pilar penting dalam menjaga ketahanan energi justru terletak pada sisi permintaan, melalui strategi Demand-Side Management (DSM). DSM secara sederhana berarti mengubah pola konsumsi energi agar lebih efisien dan andal, tanpa harus terus menambah kapasitas pembangkit.
Indonesia sebenarnya telah mengakui pentingnya DSM dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan target penurunan intensitas energi sebesar 1% per tahun dan penghematan 17,4% energi dibanding skenario normal pada 2025. Namun implementasinya lambat dan sering kalah perhatian dibanding proyek pembangkit baru. Ini adalah kelalaian yang mahal.
DSM bukan sekadar hemat listrik atau mematikan lampu. Ini adalah alat strategis yang, jika diterapkan serius, dapat mengurangi tekanan terhadap jaringan listrik, menunda kebutuhan investasi infrastruktur mahal, dan menyelaraskan konsumsi energi dengan ketersediaan pasokan terbarukan yang bersifat fluktuatif.
Masalah intermitensi energi terbarukan seperti surya dan angin adalah tantangan nyata di Indonesia. Energi matahari memuncak di siang hari, sementara lonjakan permintaan biasanya terjadi di malam hari. Energi angin sulit diprediksi. DSM bisa menjadi jembatan---dengan menggeser jam operasi industri, memberi insentif pemakaian di luar jam sibuk, atau menyimpan energi melalui sistem baterai yang dikendalikan algoritma prediktif.
Inovasi teknologi memungkinkan hal ini. Smart meter, perangkat berbasis IoT, dan analisis data berbasis Akal Imitasi (AI) dapat memantau serta menyesuaikan konsumsi energi secara real-time. Negara seperti Korea Selatan dan Singapura telah mengadopsi teknologi jaringan listrik cerdas ini. Indonesia, yang tengah membangun ekonomi digital dan inisiatif kota pintar, memiliki peluang besar untuk menyusul.
Namun DSM bukan semata urusan teknologi dari atas ke bawah. Perubahan perilaku dan partisipasi publik sangat penting. Studi menunjukkan bahwa kampanye kesadaran, program literasi energi, bahkan insentif sederhana seperti laporan konsumsi energi komparatif, dapat menurunkan konsumsi rumah tangga hingga 10--15%. Di pedesaan, koperasi dan program penghematan energi berbasis komunitas terbukti efektif, terlebih jika dipadukan dengan sistem mikrogrid atau panel surya rumah.
Secara ekonomi, DSM adalah strategi cerdas. Dengan meratakan beban puncak, penyedia listrik bisa menghindari investasi mahal pada pembangkit cadangan dan mengurangi ketergantungan pada pembangkit fosil. Bagi konsumen, ini berarti tagihan lebih ringan dan pasokan yang lebih andal. Bagi negara, DSM adalah cara murah untuk mencapai target iklim tanpa harus membangun infrastruktur energi yang membebani anggaran.
Sayangnya, kebijakan dan insentif energi di Indonesia belum mendukung potensi ini. Tarif listrik yang datar dan subsidi besar membuat konsumen tidak terdorong untuk mengubah perilaku. Pasar perusahaan jasa energi (ESCO) masih terbatas, dan kemitraan publik-swasta dalam efisiensi energi belum berkembang.
Untuk mengoptimalkan DSM, Indonesia harus bergerak di tiga lini. Pertama, reformasi tarif listrik dengan memperkenalkan skema time-of-use atau dynamic pricing untuk mencerminkan kondisi riil pasokan dan permintaan. Kedua, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang jelas untuk teknologi jaringan cerdas dan layanan energi digital. Ketiga, pemberdayaan pemerintah daerah dan komunitas lokal harus diperkuat melalui pendanaan dan edukasi yang tepat.
Yang terpenting, kita harus mengubah cara pandang tentang ketahanan energi. Selama ini, ketahanan diukur dari berapa banyak megawatt bisa dibangkitkan, atau berapa banyak minyak bisa diimpor. Kini, tantangannya berbeda. Ketahanan sejati lahir dari sistem yang tangguh, fleksibel, dan cerdas. Bukan sekadar menghasilkan lebih banyak listrik, tapi menggunakan listrik secara lebih bijak.
Jika Indonesia berani mengambil langkah ini, kita tidak hanya menghemat energi, tetapi juga menyelamatkan lingkungan, memperkuat ekonomi, dan mengamankan masa depan energi nasional---tanpa harus menyalakan satu pun pembangkit batu bara tambahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI