Sayangnya, kebijakan dan insentif energi di Indonesia belum mendukung potensi ini. Tarif listrik yang datar dan subsidi besar membuat konsumen tidak terdorong untuk mengubah perilaku. Pasar perusahaan jasa energi (ESCO) masih terbatas, dan kemitraan publik-swasta dalam efisiensi energi belum berkembang.
Untuk mengoptimalkan DSM, Indonesia harus bergerak di tiga lini. Pertama, reformasi tarif listrik dengan memperkenalkan skema time-of-use atau dynamic pricing untuk mencerminkan kondisi riil pasokan dan permintaan. Kedua, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang jelas untuk teknologi jaringan cerdas dan layanan energi digital. Ketiga, pemberdayaan pemerintah daerah dan komunitas lokal harus diperkuat melalui pendanaan dan edukasi yang tepat.
Yang terpenting, kita harus mengubah cara pandang tentang ketahanan energi. Selama ini, ketahanan diukur dari berapa banyak megawatt bisa dibangkitkan, atau berapa banyak minyak bisa diimpor. Kini, tantangannya berbeda. Ketahanan sejati lahir dari sistem yang tangguh, fleksibel, dan cerdas. Bukan sekadar menghasilkan lebih banyak listrik, tapi menggunakan listrik secara lebih bijak.
Jika Indonesia berani mengambil langkah ini, kita tidak hanya menghemat energi, tetapi juga menyelamatkan lingkungan, memperkuat ekonomi, dan mengamankan masa depan energi nasional---tanpa harus menyalakan satu pun pembangkit batu bara tambahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI