Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menghambat Kiamat Iklim dengan Ekosistem Karbon Biru

21 Agustus 2021   21:18 Diperbarui: 21 Agustus 2021   21:18 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Johannes Plenio on Unsplash   

Perubahan iklim kini telah mengambil alih perhatian dunia. Isu yang identik dengan kiamat tersebut pertama kali muncul di tahun 1985. Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985. 

Beberapa riset ilmuwan mengenai pemanasan global yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas. 

Menurut seorang anggota Satgas Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, Bernard Steni, isu perubahan iklim memanas setelah terjadi kebakaran hutan skala luas di Taman Nasional Yellowstone, AS. Sungai Missisipi mengering dan bulan Juni dinobatkan sebagai waktu terpanas di Washington.

Di awal 1990, isu pemanasan global pun menggema di berbagai belahan dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim. 

Maka dibentuklah The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB. Ini merupakan upaya dari segi kebijakan untuk melawan krisis iklim.

Namun, usaha untuk memperbaiki bumi terus menuai hambatan. Mulai dari kondisi lingkungan yang memburuk, produksi gas rumah kaca yang terus meningkat, hingga terjadinya beberapa bencana alam sebagai efek samping krisis iklim. 

Selain itu, faktor penyebab lain yang tidak kalah penting adalah penurunan ekosistem alami untuk menyerap, mengikat, dan menyimpan karbon melalui proses fotosintesis yang disebut sebagai karbon hijau. 

Di samping itu, kita juga memiliki potensi blue carbon. Ekosistem mangrove, rawa payau, dan padang lamun yang mudah menyerap emisi karbon.

Secara teoritis, akumulasi karbon yang diserap ekosistem pantai dan laut yang mencakup lebih dari 55 persen karbon hijau sedunia. Saat ini, ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara dengan 25 persen. 

Tentu hal ini memberikan peluang tersendiri bagi Indonesia selaku pemilik mega biodiversity terbesar. Tercatat kawasan coral triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia, 3,14 juta hektar atau 23 persen dari ekosistem mangrove dunia ada di Indonesia, dan 3,30 juta hektar padang lamun terluas di dunia dimiliki Indonesia. 

Apabila dioptimalkan dengan baik, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin capaian target NDC (Nationally Determined Contributions). Salah satu parameter penanganan negara untuk penanganan krisis iklim.

Walaupun memberikan banyak keuntungan, ekosistem karbon biru yang paling terancam di  Bumi. Sekitar 980.000 hektar ekosistem ini dihancurkan setap tahunnya. Diperkirakan  sampai dengan 67% dari  seluruh cakupan global mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun telah hilang. Jika hal ini berlanjut, maka 40% ekosisem karbon biru akan hilang dalam kurun waktu 100 tahun ke depan. 

Bila dibiarkan terdegradasi, ekosistem  ini  akan  menjadi sumber emisi gas rumah kaca karbondioksida yang besar. 

Tingkat kehilangan ekosistem pesisir yang ada saat ini dapat  menyebabkan 0,15-1,02 miliar ton CO2 dilepaskan  setap  tahunnya. Tentu ini menjadi mimpi buruk bagi penanganan krisis iklim global. Fakta tersebut diperkuat dengan grafik pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik kerusakan ekosistem karbon biru setiap tahunnya (Hoegh, 2010)
Gambar 1. Grafik kerusakan ekosistem karbon biru setiap tahunnya (Hoegh, 2010)

Gambar 2 menunjukkan kuantitas serapan ekosistem karbon biru yang lebih banyak dibandingkan dengan  penyerapan  dari  hutan  daratan. Seluruh emisi karbon tersebut tersimpan di bawah tanah hingga 99%. 

Tanah yang kaya karbon ini dapat mencapai hingga enam meter di bawah tanah, membuatnya dapat bertahan untuk waktu yang sangat lama (hingga ribuan tahun). Kita bisa melihat bagaimana potensi besar dari ekosistem karbon biru di gambar 3.

Gambar 2. Perbandingan simpanan karbon di ekosistem karbon biru dengan ekosistem hutan daratan (Pendleton dkk. 2012).
Gambar 2. Perbandingan simpanan karbon di ekosistem karbon biru dengan ekosistem hutan daratan (Pendleton dkk. 2012).

Gambar 3. Potensi penyerapan emisi oleh ekosistem karbon biru (Murray, 2011).
Gambar 3. Potensi penyerapan emisi oleh ekosistem karbon biru (Murray, 2011).

Melihat beragam potensi tersebut, sudah sepatutnya kita optimalkan untuk menghambat kiamat iklim terjadi. 

Guna menjaga keberlanjutan dari ekosistem karbon biru, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menyelamatkan ekosistem mangrove pesisir. Bagaimanapun, Nelleman (2009) menyebut bahwa bentang  mangrove  memiliki  arti  penting  bagi  iklim  global.

Dengan  menyelamatkan ekosistem pesisir, berarti tiga miliar metriks ton karbon setidaknya  tidak  terlepas ke udara. Hutan mangrove sendiri memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan karbon  dalam  tanah.  

Dengan  demikian  mangrove  merupakan  ekosistem penting  dalam mitigasi  iklim  global.  Dengan  menyelamatkan  mangrove dapat  menurunkan emisi karbon Indonesia  ke  tingkat  26%  (41%  jika  ada komitmen  bantuan  Internasional)  pada  tahun  2020. Apalagi Indonesia memiliki 3,1 juta hektar atau hampir seperempat kawasan mangrove dunia.

Kita juga dapat mengawal Peraturan Presiden (Perpres) tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Seusai rilis pada akhir tahun 2017, materi ramah lingkungan dalam setiap aspek pembangunan, mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi. Program-program konservasi dan rehabilitasi ekosistem menjadi poin penting dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah periode 2020-2030, terutama dalam pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan.

Mempertahankan keberlanjutan ekosistem pesisir merupakan komponen penting dalam usaha konservasi dan rehabilitasi. Dengan demikian vegetasi pesisir mampu mempertahankan avoided emission (emisi yang tercegah) dan mengurangi potensi emisi (terlepasnya) CO2 dari proses alih guna lahan. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk menjaga bumi dari kiamat iklim. Juga agar anak cucu kita dapat menghirup udara tanpa polusi di masa yang akan datang. Semoga.

Bacaan Lebih Lanjut

Hoegh-Guldberg, O., Bruno, J.F., 2010. The impact of climate change on the world's marine ecosystems. Science 328 (5985), 1523e1528.

Murray, B.C., Pendleton, L. and Sifeet, S. 2011. State of the Science on Coastal Blue Carbon: A Summary for Policy Makers.  In:  Nicholas  Institute  for  Environmental Policy Solutons Report NIR 11-06, P. 1-43.

Pendleton, L., Donato, D.C., Murray, B.C., Crooks, S., Jenkins, W.A., Sifeet, S., Craf, C., Fourqueran, J.W., Kaufman, J.B.,  Marb, N., Megonigal,  P.,  Pidgeon,  E.,  Herr, D., Gordon, D. and Balder, A. 2012. Estimating Global "Blue  Carbon"  Emissions  from  Conversion  and Degradaton of Vegetated Coastal Ecosystems. PLoS ONE 7(9): e43542.

Pemerintah  Republik  Indonesia. 2017. Peraturan  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Mangrove,  Permenko  Perekonomian  No.  4  Tahun 2017. Jakarta: Sekretariat Negara.

Nellemann, C., Corcoran, E. (Eds.), 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon: a Rapid Response Assessment. UNEP/Earthprint.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun