Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istilah Kafir, Nahdlatul Ulama, dan Sikap Kita

5 Maret 2019   18:08 Diperbarui: 6 Maret 2019   00:49 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil Musyawarah Nasional (Munas) NU berisi usulan mengganti terminologi "Kafir" menjadi Non-Muslim membuat jagat raya makin memanas.

Pro-kontra dikalangan kiai dan masyarakat tak terhindarkan. Bagi yang mendukung meyakini kata kafir di Indonesia telah dipolitisir dan makin menggema sejak kasus Ahok yang masih melekat dalam ingatan. Sehingga terminologi kafir diganti dengan Non-Muslim tujuannya meredam sentimen dan ketegangan yang terjadi selama ini.

Sementara, tak sedikit masyarakat menolak dengan tegas terminologi itu sebab istilah kafir merupakan terminologi yang baku dalam nash al-Qur'an. Bahkan pakar hadis sekaligus ustadz kenamaan seperti Ustadz Abdul Somad (UAS) pun tegas hasil Munas NU itu. "Masak ayat-ayat al-Qur'an diganti menjadi Non-Muslim," tanggapannya atas isu yang dianggap telah membelah umat.

Kalangan akademisi dan ulama pun telah mencoba memberi rincian dan penjelasan tentang istilah kafir, mulai dari dimensi etimologi, sejarah hingga pemaknaan kontekstual istilah kafir dalam al-Qur'an. Misalnya, Mun'im  Sirry dalam tulisannya yang bertajuk: Siapakah Orang-Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Quran. Mengemukakan bahwa terminologi kafir dalam al-Qur'an tidak statis, terminologi ini bersifat dinamis. Menurutnya, pada fase Mekkah Awal dan Pertengahan, kata kafir dalam al-Qur'an masih samar-samar.

Sebaliknya, kata kafir dalam al-Qur'an terperinci ketika pada fase Madinah untuk menyebut kalangan yang tidak menerima risalah yang dibawa oleh Muhammad SAW. Meskipun demikian, menurut saya tulisan Mun'im Sirry tidak melihat lebih luas khususnya istilah ini dalam fase Madinah sehingga nampaknya ulasannya bersifat umum.

Dalam al-Qur'an sendiri, terdapat ayat yang bersifat Muhkamat yaitu ayat yang sudah jelas dan tidak membutuhkan tafsiran. Misalnya, dalam surat Al-Kafirun secara jelas menerangkan perihal orang-orang Kafir. Bahkan, pesan pluralitas ditujukkan dengan konsep "Untukmu agamamu dan untukku agamaku (Qs; Al-Kafirun;6) adalah sikap tasammuh (saling menghargai) dan menghormati antar sesama.

Menurut saya, lahirnya perpecahan hari-hari ini hanya pada pemaknaan dan konteks saja. Jika Nahdlatul Ulama melihat upaya mengganti terminologi ini hanya dalam konteks mu'amalah, sosial-masyarakat. Anda dan siapapun itu tidak mungkin memanggil teman Anda yang beda agama dengan sebutan "Hai Kafir" atau "Hai Domba Tersesat" pasti Non-Muslim atau istilah yang lebih sopan. 

Jadi, NU tidak pula bermaksud mengganti terjemahan Kafir menjadi Non-Muslim dalam al-Qur'an. Begitu pula sebaliknya, Anda juga tidak perlu terlalu sensitif menanggapi istilah kafir karena kita pahami dalam setiap agama terdapat terminologi tertentu untuk menyebut orang yang di luar keyakinannya.  

Jadi jelas, agar tidak bias seharusnya kita lihat konteks persoalan. Pada dataran nash (teks al-Qur'an) istilah kafir merujuk pada orang yang menolak ajaran, risalah dan kebenaran Islam. Tapi dalam penggunaannya, konteks sehari-hari istilah ini disepadankan dengan Non-Muslim. Agama sebagai produk transenden memiliki kebenaran mutlak, tapi dalam penerapannya melahirkan corak beragam. 

Umat Islam mayoritas di Indonesia telah meletakkan mekanisme dasar bagi terbentuknya toleransi dan jaminan keberlangsungan keberagamaan. Agama adalah seperangkat aturan yang bersifat transenden. Maksudnya, anda meyakini agama Islam maka wajib mengikuti segala norma di dalamnya.

Sedangkan Keberagamaan (Religiusitas) dalam kerangka holistis merupakan realitas pluralis yang dijamin dalam kehidupan bernegara, saling menghormati antar sesama dan wujud dari ritual keagamaan adalah kerangka dasar dari keberagamaan itu sendiri sehingga kata Kafir menurut saya bukan terminologi deskriminatif atau anggapan menakutkan lainnnya jadi anda tidak perlu khawatir atau tersinggung.

Agama dan Institusi Sosial 

Kita umat Islam seringkali buram melihat mana dimensi normatif dan dimensi sosial. Dimensi normatif mengandung etika, nilai, moral dan keyakinan penganut ajaran agama. Ada ajaran yang wajib kita laksanakan sebagai individu dan sosial, ada pula hal yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Sedangkan ada dimensi lain tak kalah pentingnya, yaitu  institusi sosial yang bercorak agama dan institusi agama.

Ini kita harus sadari bersama, sebagai institusi sosial ia berfungsi untuk menjaga keutuhan masyarakat. Sedangkan institusi agama berfungsi untuk memberi fatwa untuk kemaslahatan bersama.

Saya memandang agama dalam institusi sosial bertugas untuk mendidik, mengelola, dan menanamkan nilai islami. Tugas itu tujuannya adalah untuk menghapus fanatisme beragama bukan sebagai institusi yang memproduksi fanatisme dan perpecahan. Institusi sosial yang bercorak agama pada titik tertentu telah kehilangan titah dasarnya, justru ia adalah produsen fanatisme paling berbahaya. Seharusnya, Nahdlatul Ulama  tidak perlu khawatir dengan terminologi Kafir. Sebagai institusi sosial yang bercorak agama, seharusnya menonjolkan peran pentingnya untuk menghilangkan sikap fanatik.

Institusi sosial sebagai wadah produktivitas. Memproduksi semangat pengetahuan dan peradaban. Bukan bergulat pada Kafir-Non Muslim, Wahabi, Salafiyyah, dan semacamnya. Tugas utama institusi sosial adalah mengembalikan spirit peradaban itu sendiri. Dalam hal ini Islam misalnya, masalah kita hari ini adalah bagaimana kita merajut peradaban Islam yang pernah terukir selama ribuan tahun, gairah inovasi, tradisi intelektual yang telah terkubur hanya dapat dibangun melalui institusi sosial itu sendiri. Sekali lagi, bukan institusi sosial sebagai produsen klaim kebenaran.

Nahdlatul Ulama dan organisasi lain sebenarnya adalah institusi sosial yang berasas agama. Sebagai institusi sosial, harus disadari bisa benar dan bisa pula kurang tepat. Masyarakat Muslim di Indonesia sudah memahami betul mana teks dan konteks dan saya meyakini, kelompok awam pun tidak pernah menyebut dalam satu forum diskusi menyebut kata-kata kafir, selalu menyebut Non-Muslim. Kecuali, bila ada persoalan yang menyangkut hukum Islam.

Saya berharap Nahdlatul Ulama, lebih baik berfokus pada sosial-keumatan yang lebih bermanfaat; membangun rumah sakit, membantu fakir miskin dan mempromosikan Islam rahmat bagi seluruh alam, bukan membuat gaduh umat.

Pasalnya, melekat dalam pandangan Barat bahwa Islam di Indonesia menawarkan "Islam Ramah"/ (Smailing face) jadi bagaimana seharusnya Nahdlatul Ulama mempertahankan Islam rahmat ini dibarengi dengan membangun sumber daya yang kuat dan mendorong terwujudnya komunitas dan tradisi ilmiah itu sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun