Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensil Warna Abay

12 September 2022   07:30 Diperbarui: 12 September 2022   07:33 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sisa utang di sekolah, masih belum terbayarkan hingga semester kedua. Mau bagaimana lagi, uang tak punya, kerja seadanya, utang dimana-mana. Orang miskin seperti keluarga kami hanya butiran debu di dunia. Tak pernah dipandang orang-orang di atas sana. Kalaupun dipandang, bagaikan sales vacum cleaner, hanya dicari untuk promosi jabatan. Selebihnya, dibuang jauh dari kehidupan.

Tak apalah, sudah biasa kami menerima janji manis para elite.

Hari Selasa, benar-benar membuatku terpukul. Uang jajan yang aku kumpulkan untuk membeli pensil warna, diminta paksa oleh sekolah. Katanya, manusia harus menyisihkan sebagian rezeki yang dimilikinya agar mengerti apa itu berbagi.

Aku hampir gila hidup di negeri ini. Katanya, sebagian rezeki harus disisihkan. Lah, hidup keluarga kami saja rezekinya hanya sebagian. Mereka tidak pernah tahu atap rumah kami bocor, listrik mati sudah dua pekan karena tak mampu bayar, belum lagi ibu yang saban hari harus minum obat karena penyakitnya.

Tapi aku tetap memberikan uangnya. Tak apalah. Sesekali perlu berbagi, agar hidup semakin berwarna.

Sepulang sekolah, aku selalu membantu ayah menyortir barang-barang bekas yang telah dikumpulkan. Hasilnya lumayan untuk ukuran anak kelas 7 seperti ku. Sekadar bisa membeli pentol kuah tiap Jumat sudah Alhamdulillah. 

Sebagiannya aku sisihkan untuk membeli pensil warna. 

Aku harus terus mengasah kemampuan ku dalam menggambar dan mewarnai. Aku ingin jadi seniman. Persetan mereka yang berjuang menjadi ASN. Terserah mereka. Aku tak ingin masuk dalam lingkaran setan. Para pegawai hanya duduk diam dan berselancar di dunia maya. Uang rakyat tergerus hanya untuk membayar mereka yang bersantai-santai di kantor dingin dan bebas dari asap kendaraan.

Namun, saat hari Selasa kembali tiba, aku termenung di pojok sekolah. Bukan karena lupa sarapan atau tertinggal buku pelajaran. Bukan pula SPP yang belum dibayar, hal itu sudah biasa dan staff bendahara maklum dengan keadaan keluarga kami. 

Tetapi hal yang mencengangkan itu kembali menghantui sanubari. Menggores hati, menyayat dada, melukai segenap perasaan batin ku.

Sekolah masih menarik iuran infaq.

bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun