Seandainya buku saku di tangan, tidak cukup pula memberi panduan bagaimana beberapa kegiatan membaca -- yang masing-masing mempunyai tujuan dan strateginya - dilakukan.
Di negara-negara maju, membacakan cerita menjadi kecakapan dasar seorang guru sekolah dasar. Membaca untuk kesenangan tidak dikenal di sekolah atau di masyarakt kita.Â
Padahal, minat baca anak itu terjadi jika ada konsep dalam diri anak bahwa membaca itu menyenangkan (joyful reading). Budaya kita baru sekedar menjadikan 'gemar membaca' ini sebagai instruksi.Â
Semua pihak menghimbau agar anak-anak membaca, dan yang menghimbau malah tidak membaca. Di tingkat sekolah, kita semua perlu memiliki semangat sebagai pegiat literasi, bukan mandor literasi.
Kita kembali pada GLN dan GLS yang turut merespon lemahnya literasi kita. Gerakan ini cukup masif dilakukan secara nasional. Namun, belum nampak adanya perbaikan.Â
Lalu, bagaimana dengan anak-anak kita? Kita pasti ingin anak-anak kita tetap bahagia meskipun laporan-laporan tentang anak-anak kita jelek, dari PISA atau lembaga-lembaga lainnya.
Saya teringat Albert Camus yang menulis Mitos Sisifus (1942). Ia tahu bahwa Sisipus menderita, tetapi ia berharap Sisipus bahagia. Kita pasti akan berharap anak-anak kita bahagia.Â
Namun, jangan lupa bahwa hasil literasi yang jelek akan berdampak pada daya saing anak-anak di tingkat global. Justru di situ baru kita bisa meraba, anak-anak akan menghadapi permasalahan di kemudian hari jika tingkat literasi mereka rendah.
Dan, sampai kapan kita akan menjadi mandor literasi?