Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak-anak Harus Bahagia

23 Februari 2020   20:28 Diperbarui: 23 Februari 2020   20:39 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Merdeka Belajar menjadi harapan baru bagi perubahan pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi pidato yang menggugah. Nadiem meminta guru untuk melakukan perubahan kecil tanpa menunggu perintah. 

Perubahan kecil itu diantaranya mengajak murid berdiskusi, memberi kesempatan murid untuk mengajar, dan menemukan bakat murid.

Murid menjadi fokus. Pembelajan yang dimaksudkan oleh Nadiem sebagai pembelajaran yang berorientasi kepada anak. Pembelajaran demikian itu yang semestinya dilakukan di sekolah. Kegiatan membaca memungkinkan anak-anak untuk mengeksplorasi banyak hal seperti yang diharapkan Nadiem.

Mandor Literasi

Mengajar itu seni. Ada pendekatan-pendekatan tertentu yang dilakukan guru. Ada yang sukanya menjelaskan kepada anak dan anak sebagai pendengar. 

Ada yang gemar memberi tugas, entah mencatat, mengerjakan soal-soal latihan, atau memberi PR kepada anak-anak. Atau, mungkin ada yang suka memberi kesempatan untuk berdiskusi terkait dengan apa yang sedang dipelajari.


Nyatanya, dalam praktik pengajaran memang bisa ditemukan kecenderungan-kecenderungan tersebut. Masih banyak guru yang dominan di depan kelas dengan penjelasan-penjelasan dan memberi penugasan. Masih sedikit guru mengajak berdiskusi.

Kurikulun berganti-ganti. Generasi pengajar juga berganti. Namun, perubahan nilai seperti tidak terasa di dalam masyarakat kita. Guru-guru yang telah mengajar selama belasan tahun masih bisa mempertahankan nilai-nilai yang diterima ketika menjadi murid. Nilai-nilai itu tak lain adalah dominasi di area pemelajaran. 

Praktik terbaik mendominasi di ruang kelas adalah dengan merasa tahu sehingga menjelaskan semua hal kepada anak. Anak dipandang sebagai pribadi yang tidak tahu apa-apa sehingga otak anak perlu diisi (tabula rasa). 

Selanjutnya, dominasi ditunjukkan dengan memberi penugasan sebagai cara mendidik anak. Di sini ada nilai administratif yang diterapkan, produk nilai lama yang terus bertahan hingga kini.

Permintaan Nadiem cukup beralasan. Dalam 20 tahun ini, pendidikan tidak menunjukkan perubahan yang menyenangkan. Anak-anak kita dinilai tidak berprestasi di mata dunia. Dalam hal keterampilan dasar membaca, matematika, dan sains, kita berada pada urutan 72 dari 77 negara. 

Demikian menurut laporan PISA tahun 2018. Ini kelanjutan dari musibah tahun 2015 yang menempatkan kita di urutan 65. Rupanya, kita tidak pernah belajar dari musibah. Padahal, ada Gerakan Literasi Nasional yang mencoba merespon lemahnya litarasi kita. Di tingkat sekolah, ada Gerakan Literasi Sekolah. Strategi tersebut tidak mujarab.

Jika strategi sudah dibuat dan belum memberi dampak, maka perlu dipikir ulang strategi tersebut. Jangan-jangan salah sasaran atau pihak-pihak yang harus mengemban tugas tidak serius. Bila dilihat dari payung hukumnya, penumbuhan minat baca seperti menjadi sasaran antara saja dan bukan target utama. Permendikbud No.23 tahun 2015 lebih memberi kebijakan untuk pengembangan budi pekerti yang salah satunya melalui kegiatan membaca 15 menit. 

Dari aspek penerapan di sekolah, ignorance dan  nilai-nilai lama yang membentuk mental mendominasi anak menjadi penghambat. Dalam kegiatan membaca, guru mengambil peran sebagai pengawas kegiatan atau mandor literasi, bukan memodelkan sebagai seorang pembaca kepada anak-anak.

Selebrasi

Saya melihat program membaca 15 menit gencar dilakukan. Di banyak daerah, membaca 15 menit menjadi kewajiban. Ada sebuah kabupaten yang memiliki program X (nama Kabupaten) Membaca. Ada mars membaca. 

Bagus sekali isi lagunya, yang mengajak anak-anak untuk gemar membaca. Turunannya, di setiap sekolah wajib ada mars gerakan membaca juga. 

Jadi, sebelum kegiatan membaca 15 menit, anak-anak berkumpul di halaman sekolah untuk membaca, didahului dengan menyanyikan mars gerakan membaca sekolah.

Membaca terjadi di manapun di halaman sekolah, di banyak kabupaten/kota. Saat kegiatan membaca, seringkali buku yang dibaca adalah buku teks, bukan buku fiksi anak. 15 menit membaca selesai dan anak-anak masuk kelas. Kadang, anak diminta menulis ringkasan dari apa yang sudah dibaca, meskipun guru kelas tidak membacanya. 

Kegiatan ini justru merepresentasikan cara kerja administratif yang diterapkan kepada anak. Anak harus membuat bukti tertulis jika sudah membaca melalui ringkasan yang mereka buat.

Pada kenyataannya, kegiatan 15 menit membaca menjadi sebuah selebrasi saja untuk mengawali pelajaran. Pihak sekolah hampir dipastikan tidak mengenal buku saku Gerakan Literasi Sekolah yang menganjurkan kegiatan membaca didampingi oleh guru. 

Kegiatan yang dilakukan bisa bervariasi menyesuaikan kelas dan kesiapan membaca anak-anak melalui kegaitan Membaca Lantang, Membaca Bersama, Membaca senyap (mandiri).

Praktiknya, anak-anak sering melakukan kegaitan membaca mandiri saja. Mengapa? Karena guru-guru tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan kegiatan membaca yang lainnya. 

Dalam hal ini, nampak bahwa sekolah sebagai basis paling akhir dalam hirarki pendidikan tidak paham dengan program ini. Di level Dinas Pendidikan setempat barangkali juga tidak memberi pencerahan terkait dengan Gerakan Literasi Sekolah. 

Yang paling gampang diingat dan disampaikan ke sekolah-sekolah adalah lakukan membaca 15 menit sebelum pelajaran. Itu saja.

Begitulah amburadulnya praktik literasi di sekolah. Tapi, pihak di sekolah percaya diri bahwa telah melakukan tugas dengan baik memajukan siswa. Nah, di sini nampak lagi bahwa idea untuk membaca 15 menit ini kabur di tingkat sekolah.

Sasarannya bukan untuk menumbuhkan minat baca dan apalagi menumbuhkan budi pekerti anak, tetapi lagi-lagi untuk memperluas pengetahuan anak-anak. 

Kita selalu terjebak bahwa anak menjadi pintar jika membaca buku. Buku yang disodorkan untuk dibaca anak-anak adalah buku-buku teks pelajaran. Kita alergi dengan buku fiksi. Buku-buku itu dianggap tidak memberi manfaat bagi anak. 

Manfaatnya adalah untuk kesenangan, yang dalam hal ini dimaknai negatif untuk 'sekedar bacaan hiburan' dan tidak mengandung pengetahuan.

Alasan tujuan membudayakan membaca untuk menambah wawasan/pengetahuan adalah mulia tetapi justru tidak benar. Malahan, ini merupakan placebo, memberi pil yang salah untuk mengobati penyakit lemahnya literasi anak. 15 menit membaca menjadi sebuah 'fake treatment' untuk membudayakan membaca. 

Ketika jenis buku yang disediakan untuk anak tidak terkontrol, banyak berupa buku-buku teks yang tidak sesuai kebutuhan membaca anak, program ini persis hanya untuk mengisi waktu saja. ini menjadi perayaan yang sia-sia yang tidak membuat anak-anak cinta membaca.

Lantas Bagaimana?

15 menit membaca pada praktiknya tidak mudah. Banyak kendala yang menjadi penyebabnya. Yang utama adalah pemahaman yang tidak tepat mengenai tujuan program dan bagaimana mengimplementasikan di sekolah. 

Seandainya buku saku di tangan, tidak cukup pula memberi panduan bagaimana beberapa kegiatan membaca -- yang masing-masing mempunyai tujuan dan strateginya - dilakukan.

Di negara-negara maju, membacakan cerita menjadi kecakapan dasar seorang guru sekolah dasar. Membaca untuk kesenangan tidak dikenal di sekolah atau di masyarakt kita. 

Padahal, minat baca anak itu terjadi jika ada konsep dalam diri anak bahwa membaca itu menyenangkan (joyful reading). Budaya kita baru sekedar menjadikan 'gemar membaca' ini sebagai instruksi. 

Semua pihak menghimbau agar anak-anak membaca, dan yang menghimbau malah tidak membaca. Di tingkat sekolah, kita semua perlu memiliki semangat sebagai pegiat literasi, bukan mandor literasi.

Kita kembali pada GLN dan GLS yang turut merespon lemahnya literasi kita. Gerakan ini cukup masif dilakukan secara nasional. Namun, belum nampak adanya perbaikan. 

Lalu, bagaimana dengan anak-anak kita? Kita pasti ingin anak-anak kita tetap bahagia meskipun laporan-laporan tentang anak-anak kita jelek, dari PISA atau lembaga-lembaga lainnya.

Saya teringat Albert Camus yang menulis Mitos Sisifus (1942). Ia tahu bahwa Sisipus menderita, tetapi ia berharap Sisipus bahagia. Kita pasti akan berharap anak-anak kita bahagia. 

Namun, jangan lupa bahwa hasil literasi yang jelek akan berdampak pada daya saing anak-anak di tingkat global. Justru di situ baru kita bisa meraba, anak-anak akan menghadapi permasalahan di kemudian hari jika tingkat literasi mereka rendah.

Dan, sampai kapan kita akan menjadi mandor literasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun