Mohon tunggu...
Wahyudi bin Rasyidi
Wahyudi bin Rasyidi Mohon Tunggu... Freelancer - Desain Grafis - Jasa Ketik

Wahyudi bin Rasyidi adalah seorang penulis yang memiliki kecintaan mendalam terhadap cerpen dan puisi. Baginya, tulisan adalah sesuatu yang sakral, laksana anak yang lahir dari perpaduan bumbu derita dan cinta. Ia berharap, setiap tulisan yang dihasilkan dapat menjadi doa yang menyelamatkannya dari penderitaan di kehidupan mendatang. Dalam kesehariannya, Wahyudi bekerja sebagai seorang freelancer. Namun, di tengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis di jurnal pribadinya di https://jurnal-renungan-masyarakat.blogspot.com/ (JRM-Jurnal Renungan Masyarakat) untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya melalui untaian kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Viral! Kisah Ibu-Ibu Kompleks dan Tren Menakuti Anak Pakai Video Kang Dedi Mulyadi

10 Mei 2025   23:28 Diperbarui: 10 Mei 2025   23:56 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak kecil menangis karena ditakut-takuti dengan video viral yang memperlihatkan ancaman dibawa ke barak militer. Create: ChatGPT

 

Cerpen: Viral! Kisah Ibu-Ibu Kompleks dan Tren Menakuti Anak Pakai Video Kang Dedi Mulyadi 

Di sebuah kompleks perumahan bernama Merpati Indah, pagi yang cerah selalu diiringi teriakan khas dari tukang sayur keliling. 

Kali ini, suara Mang Wahyu, sang tukang sayur langganan ibu-ibu kompleks, memecah keheningan. "Sayuuur! Sayuur segar! Sayuuur!" serunya sambil mendorong gerobak yang penuh dengan sayuran hijau dan aneka lauk pauk segar.

Mendengar panggilan itu, berhamburanlah ibu-ibu dari berbagai penjuru rumah. 

Ada Bu Wiji, ibu rumah tangga yang dikenal mudah terpengaruh; Bu Yuni dan Bu Tuti, sahabat karib yang sering kali memanaskan suasana dengan informasi terkini; dan Bu Ratna, ibu yang bijaksana dan selalu punya pandangan berbeda.

Saat ibu-ibu mulai memilih sayur, obrolan khas mereka pun mengalir.

"Eh, Bu Wiji, anakmu udah mandi belum?" tanya Bu Yuni sambil memilih kangkung.

"Aduh, jangan ditanya, Bu Yuni. Malasnya minta ampun!" keluh Bu Wiji sambil memeriksa tomat di keranjang.

"Coba, deh, kayak aku. Tunjukin aja video Kang Dedi Mulyadi yang viral itu! Anak-anak yang malas mandi, susah bangun pagi, langsung dibawa ke barak militer! Ampuh banget, loh!" sahut Bu Yuni dengan semangat.

"Iya, iya! Anakku juga sekarang nggak berani main HP sampai malam gara-gara aku ancam kayak gitu," timpal Bu Tuti sambil mengaduk-aduk keranjang cabai.

"Video apaan sih, Bu? Aku belum lihat," tanya Bu Wiji penasaran.

"Nih, aku kasih liat," jawab Bu Yuni sambil mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan video seorang bapak yang menakut-nakuti anaknya dengan video Kang Dedi. Anak di video itu langsung patuh dan berhenti bermain HP.

Bu Wiji terkagum-kagum. "Wah, keren juga, ya. Nanti aku coba ke anakku deh," katanya sambil tersenyum puas.

Namun, dari ujung keranjang bawang, Bu Ratna menyela, "Maaf ya, Bu Wiji. Menurutku sih, menakut-nakuti anak itu boleh, tapi harus ada alasannya. Kalau cuma ikut-ikutan karena viral, kasihan anaknya."

"Ah, lebay banget, Bu Ratna," sahut Bu Yuni. "Zaman kita dulu mana ada istilah mikirin mental anak segala. Nggak ada tuh anak zaman dulu yang lemah kayak sekarang."

Bu Ratna tersenyum sabar. "Betul, zaman kita dulu nggak ada media sosial. Sekarang anak-anak lebih rentan stres karena terlalu banyak terpapar informasi. Lagipula, kalau kita sendiri yang kasih mereka HP untuk main, kok kita yang marah saat mereka main HP? Bukankah itu sangat berlawanan bu?"

Mang Wahyu yang sedang mengatur timbangan ikut nimbrung. "Betul tuh, Bu. Kadang kita lupa kalau anak-anak belajar dari kita. Kalau kita malas mendampingi mereka malah kita kasih HP biar gak ribet, ya mereka juga jadi malas."

Bu Tuti terdiam sejenak. "Tapi, Bu Ratna, kalau udah terlanjur gimana dong? Udah kasih HP, udah nakutin juga."

"Nggak apa-apa, Bu. Namanya orang tua nggak ada yang sempurna," jawab Bu Ratna. "Tapi mulai sekarang, coba lebih bijak. Misalnya, kalau mau kasih rasa takut, beri penjelasan kenapa mereka harus takut. Contohnya, kalau kita ingin mereka takut terlambat mandi, jelaskan bahwa itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mereka. Jadi rasa takut itu berdasar, bukan sekadar ancaman."

Ia melanjutkan, "Anak-anak perlu memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Kalau hanya ditakut-takuti tanpa penjelasan, mereka akan tumbuh dengan rasa cemas dan bingung. Dampaknya, mereka bisa kehilangan rasa percaya diri atau bahkan takut mengambil keputusan karena merasa selalu salah."

Bu Wiji tampak mulai merenung. "Iya juga ya, Bu Ratna. Kalau terus-terusan begini, mungkin anakku malah nggak berani mencoba hal baru."

"Benar, Bu Wiji. Kita harus ajari mereka bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar. Bukannya tidak boleh salah, tapi bagaimana mereka bisa belajar dari kesalahan itu. Kalau kita terus menekan mereka, mereka bisa merasa tidak berharga atau bahkan takut pada kita sendiri," jelas Bu Ratna panjang lebar.

Mang Wahyu yang sejak tadi menyimak tersenyum kecil. "Bu Ratna memang beda, ya. Pantas anaknya pinter banget, suka baca buku juga kan? Jangan-jangan doyan makan buku nih, hahaha!"

Bu Ratna tertawa. "Waduh, Mang, bukannya makan buku, tapi memang kami sekeluarga suka baca. Itu juga kebiasaan dari kakek saya dulu."

Obrolan itu membuat ibu-ibu lain tertawa, tetapi juga merenung.

"Jadi sebenarnya yang salah siapa, Bu? Kang Dedi?" tanya Bu Wiji ragu-ragu.

"Aku nggak bilang Kang Dedi salah, Bu Wiji," jawab Bu Ratna lembut. "Setiap kebijakan punya sisi baik dan buruknya. Kita sebagai orang tua harus melihat konteksnya, bukan sekadar ikut tren."

"Eh tapi, Jeng, kembali ke Kang Dedi tadi ya," timpal Bu Tuti. "Kayak nggak salah Kang Dedi juga, toh. Anak-anak nakal yang dibawa ke barak itu pun juga atas persetujuan dari orang tua wali, terus atas persetujuan anak juga, loh. Mereka juga diberi pemahaman sebelumnya. Jadi menurutku sih, kalau kita cuma sekadar menakut-nakuti tanpa alasan dan pemahaman, itu yang salah. Wong Kang Dedi aja ngasih pemahaman dulu ke keluarga yang bersangkutan sebelum anaknya dibawa ke barak militer."

"Iya, sih. Kalau dipikir-pikir, kadang kita sendiri yang suka kebawa perasaan lihat video kayak gitu," sahut Bu Yuni, mengangguk setuju.

Bu Ratna hanya tersenyum. "Memang kita harus hati-hati, Bu. Jangan sampai emosi sesaat atau tren di media sosial mengalahkan akal sehat kita sebagai orang tua."

Ibu-ibu pun menyelesaikan belanja mereka dengan pikiran yang mulai terbuka. Namun, saat hendak membayar, terdengar suara serentak dari Bu Wiji, Bu Yuni, dan Bu Tuti, "Ngutang dulu ya, Mang Wahyu!"

Mang Wahyu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengeluh, "Waduh, ibu-ibu ini yang seharusnya dibawa ke barak militer."

Bu Ratna tertawa kecil. "Sabar ya, Mang Wahyu. Kalau ibu-ibu nggak begini, bukan ibu-ibu namanya."

Dan pagi itu pun ditutup dengan canda tawa, meninggalkan pelajaran kecil tentang bijaknya menjadi orang tua di tengah tren media sosial.

Pesan Penulis:

Cerita ini hanyalah fiksi atau karangan belaka dari imajinasi penulis. Mohon tidak diambil hati ya, para pembaca.

Ambillah yang baik dari tulisanku, karena segala kebaikan itu berasal dari Maha Cinta. Aku hanyalah penyampai pesan yang tidak luput dari kesalahan. Namun, jangan sekadar membaca tanpa merenung.

Renungkanlah apa yang kau baca, dan cocokkanlah dengan dirimu sendiri. Ingat, yang baik menurutku belum tentu baik menurutmu, dan kebaikan setiap orang selalu memiliki banyak wajah. Maka, setialah pada suara hatimu sendiri.

Salam Hangat,
Wahyudi Bin Rasyidi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun