Mohon tunggu...
Wahyu Amuk
Wahyu Amuk Mohon Tunggu... Jurnalis - Goresan Perantau

Journalist, Traveller, Blogger, Designer, dan penikmat kopi serta hujan dengan secarik kertas di penghujung petang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Honorer Juga Manusia

19 Mei 2016   21:23 Diperbarui: 20 Mei 2016   12:41 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lipsus.kompas.com

Guru bisa dikatakan sebagai tonggak ilmu. Tanpa guru hidup ini apalah artinya. Sejatinya guru juga manusia, yang butuh hidup dengan sandang dan pangan. Bagaimana seorang guru mendidik dengan kreatif dan leluasa, sedangkan perutnya terus meronta iba. Bagaimana guru bisa mengajar dengan rasa senang dan bahagia, sedangkan hidupnya saja masih jauh dengan namanya bahagia. Bagaimana guru harus menjawab bahkan bertanya kepada siswanya tentang bahagia, sedangkan hidupnya sendiri kehilangan kata sejahtera.

Jika ditanya, siapa yang tidak ingin hidup bahagia dan sejahtera? Semua orang pasti butuh dan mau, begitu juga dengan para guru. Lihatlah, begitu banyak orang-orang sukses yang telah berhasil mereka cetak. Baik pengusaha, penulis, politikus, ilmuwan, pemimpin, bahkan kaum-kaum pendidik sekaligus. Sebenarnya mereka juga pantas untuk bahagia dan sejahtera. Namun nyatanya, yang terjadi justru malah sebaliknya. Ibarat sebatang lilin, mereka menerangi orang lain, tapi diri mereka sendiri serba kesulitan, dan ujung-ujungnya hilang.

Kita harus ingat, bahwa jasa seorang guru bisa dikatakan tidak ada bandingnya. Demi melahirkan generasi penerus yang berkualitas dan unggul, profesionalitas para guru memang menjadi salah satu syarat utama untuk mewujudkannya. Pemerintah harus bisa mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan taraf hidup profesionalitas guru-guru di tanah air, termasuk tenaga guru honorer. Hal ini juga sebagai wujud yang telah dicanangkan oleh SBY pada 2 Desember 2004, dan yang tercantum dalam UUGD No. 14 tahun 2005. Tujuannya, agar status sosial profesi guru ini meningkat sehingga profesi guru memang betul-betul diminati, dan tidak lagi sebagai 'pelarian' para pencari kerja, yang kerjanya sambilan sehingga hasilnya kurang memuaskan.

Bertolak dari itu pula, sudah saatnya pemerintah sadar dan memperhatikan kaum pendidik guru honorer. Tentu saja sesuai dengan tanggungjawab atau kewajiban yang mereka emban. Meskipun status mereka berbeda, namun jangan terlalu membeda-bedakan hak mereka. Bagaimana pun juga, profesi mereka itu sama. Sama-sama profesionalime sebagai kaum pendidik untuk mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, sudah sepantasnya pula pemerintah benar-benar merealisasikan wacana yang dulu pernah dilontarkan tentang kesejahteraan guru honorer. Bukankah tenaga guru honorer juga disebut guru? Artinya honorer juga bagian yang termasuk dalam UU tersebut.

Baru-baru ini ada juga pemberitaaan wacana tentang tenaga honorer ini yang diterbitkan oleh www.harianterbit.com, bahwa Komisi X DPR yang membidangi masalah pendidikan berkomitmen untuk menyejahterakan para guru terutama guru honorer yang kesejahteraannya selama ini tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Komisi X DPR akan mewajibkan seluruh Pemda mengatur ketentuan gaji para guru honorer minimal sama dengan Upah Minimum Kerja (UMK) di masing-masing daerah. Sehingga efek pendidikan ini benar-benar merata, bukan untuk guru diperkotaan saja.

Sebisa mungkin hal ini tidak hanya sekadar wacana belaka, namun benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Selama ini tidak pernah diatur tentang upah guru honorer, sehingga masih banyak guru-guru honorer di daerah yang mendapat upah yang tidak layak, bahkan tidak diupah sama sekali. Meskipun nantinya, tidak ada jaminan guru-guru tersebut bahagia dan sejahtera. Paling tidak, ini salah satu wujud peduli dan juga sebagai langkah awal untuk mensejahterakan para guru, khususnya guru honorer yang selama ini kurang mendapat perhatian. Tentunya, karena mereka juga manusia yang butuh perhatian, agar mereka benar-benar bisa mengajar dengan hati dan hati-hati, profesional, cinta, kreatif, dan penuh tanggung jawab, demi mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jika tidak, negeri ini pasti masih penuh dengan caci-maki.


Dimuat pada Harian HALUAN Padang, 13 Mei 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun