Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilih Aku atau Brima, Lalu Aku Bisa Apa?

5 Oktober 2016   21:54 Diperbarui: 5 Oktober 2016   22:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: www.republika.co.id

Menterjemahkan isi hati mungkin lebih baik dengan berbicara, agar tak menjadi ganjalan hati. Jika ada masalah, mengapa tak bilang? Bukankah aku temanmu? Apa? Hanya teman? Tak apa. Aku bisa menjadi pendengar yang baik. Aku juga bisa menjadi sahabat yang baik. Ya, ya, aku memang tak sesempurna dirimu, tetapi aku adalah teman yang baik. Itu cukup bukan? Meski aku menginginkan bersahabat. Atau lebih? Ya, tak usah juga tak apa. Aku takut kamu marah. Kalau marah, apa aku bisa menjadi temanmu? Jangan-jangan nanti kau memecatku jadi temanmu? Atau lebih? Atau bersahabat? Entahlah!

Baik, aku akan mengaku, kemarin aku memecahkan vas bunga kesayanganmu. Tapi itu kulakukan karena tak sengaja. Sungguh, waktu itu aku khilaf, melamun dan tak sengaja tanganku menggeserkan vas bunga itu. Tentu saja aku kaget. Aku takut padamu, karena vas itu kesayanganmu. Kau pernah bercerita, bahwa vas itu dari Eyang Putri. Sedang aku pura-pura tak tahu bahwa vas itu jatuh dan pecah. Ketika kamu datang dan mendapati vas pecah. Hatimu sedih. Terlihat dari raut wajahmu. Aku mengintip dari balik pintu, dengan harap-harap cemas dan merasa berdosa. Aduh, maafkan aku. Kamu menarik nafas panjang dan segera memberesi sisa-sisa pecahan vas untuk kau buang.

Suatu kali, aku juga pernah meminjam buku novel kesayanganmu yang baru saja masih kau baca. Sepertinya belum selesai kau baca. Terlihat dari pembatas buku yang masih di tengah halaman. Lalu buku itu kubawa pulang. Aku tahu, pasti kamu akan mencarinya kemana-mana. Tapi aku menginginkan buku itu. Aku suka buku itu. Di tempatku, mana ada buku seperti itu? Aku selalu iri padamu. Tapi itu kulakukan hanya sekali. Tak lebih. Dan buku itu masih tersimpan untuk kenangan. Setelah beberapa hari kamu kehilangan buku itu, kau tak lagi mencarinya. Kau mengikhlaskannya. Aku senang.

***

Tangismu pecah. Apa yang terjadi? Yang kutahu selama ini, kau baik-baik saja. Mengapa menangis? Apakah ada yang menyakiti hatimu? Oh, pasti cowok itu, siapa namanya? Brima? Cowok berambut ikal yang konon mencintaimu? Bagaimana bisa ia menyakiti hatimu, yang mengkilap bak pualam? Aku yakin, pasti Brima ceroboh dan merugi, jika ia tahu, betapa baiknya dirimu. Ia pasti akan menyesal telah membuatmu menangis. Tapi, kupikir Brima baik, pasti bukan, lalu mengapa kamu menangis?

Aduh, aku jadi ikut bingung deh. Kamu kini tak mau bercerita padaku.


***

Aku berpura-pura tak mengenalmu. Mengikutimu dari belakang, tanpa kau tahu. Lalu, mengapa bisa begitu? Aku hanya ingin jadi pengamat, tanpa kau tahu. Tentu saja kau tak tahu, karena aku tak memberitahukanmu. Biasanya aku akan bilang, jika aku ingin ikut denganmu. Bingung ya, mengapa begitu?

Baik, aku jelaskan ya, aku memang tak seperti orang kebanyakan. Aku tak tampak. Hanya Sasti yang tahu. Tapi kali ini tak melihatku. Aku memakai ilmu yang diajarkan ibu. Ilmu Tak Nampak.

Uufft

Lalu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun