Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilih Dia atau Aku?

24 November 2020   16:19 Diperbarui: 24 November 2020   16:28 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iluatrasi: Foto Wahyu Sapta.

Menterjemahkan isi hati mungkin lebih baik dengan berbicara, agar tak menjadi ganjalan hati, bukan?Jika ada masalah, mengapa tak bilang? Bukankah aku temanmu? Hei, apa? Ya, ya. Baiklah, aku hanya teman. Padahal aku mengagumimu, dan menganggapmu lebih dari teman. 

Tak apa. Aku bisa menjadi pendengar yang baik. Aku juga bisa menjadi sahabat yang baik. Sumpah, aku menyukaimu.

Aku memang tak sesempurna dirimu, tetapi aku adalah teman yang baik. Itu cukup adil bukan? Meskipun sebenarnya aku menginginkan menjadikanmu sahabat. Hem, atau lebih? 

Hem. Tapi tak usah juga tak apa. Aku takut kamu marah. Kalau marah, apa aku bisa menjadi temanmu lagi? Jangan-jangan nanti kau memecatku jadi temanmu? Atau lebih dari itu? Atau bisakah bersahabat kembali? Entahlah! Aku bingung jadinya.

Oya, aku akan mengaku, kemarin aku memecahkan vas bunga kesayanganmu. Tapi itu kulakukan karena tak sengaja. Sungguh, waktu itu aku khilaf, melamun dan tak sengaja tanganku menggeserkan vas bunga itu. Tentu saja aku kaget. Aku takut padamu, karena vas itu kesayanganmu. 

Kau pernah bercerita, bahwa vas itu dari Eyang Putri. Sedang aku pura-pura tak tahu bahwa vas itu jatuh dan pecah. Ketika kamu datang dan mendapati vas pecah. Hatimu sedih. Terlihat dari raut wajahmu. 

Aku mengintip dari balik pintu, dengan harap-harap cemas dan merasa berdosa. Aduh, maafkan aku, ya. Kamu menarik nafas panjang dan segera memberesi sisa-sisa pecahan vas untuk kau buang.

Suatu kali, aku juga pernah meminjam buku novel kesayanganmu yang baru saja masih kau baca. Sepertinya belum selesai kau baca. Terlihat dari pembatas buku yang masih di tengah halaman. Lalu buku itu kubawa pulang ke tempat asalku.

Aku tahu, pasti kamu akan mencarinya kemana-mana. Tapi aku menginginkan buku itu. Aku suka buku itu. Di tempatku, mana ada buku seperti itu? Aku selalu iri padamu. Tapi itu kulakukan hanya sekali. Tak lebih. 

Buku itu masih tersimpan, untuk kenangan darimu. Setelah beberapa hari kamu kehilangan buku itu, kau tak lagi mencarinya. Kau mengikhlaskannya. Aku senang. Akhirnya aku bisa memiliki buku itu, tanpa takut kamu akan mencarinya.

***

Suatu hari tangismu pecah. Apa yang terjadi? Yang kutahu selama ini, kau baik-baik saja. Mengapa menangis? Apakah ada yang menyakiti hatimu? Oh, pasti cowok itu, siapa namanya? Brima? Cowok berambut ikal yang konon mencintaimu? Bagaimana bisa ia menyakiti hatimu? Sedangkan hatimu itu mengkilap bak pualam? Aku tidak terima.

Aku yakin, pasti Brima ceroboh dan merugi, jika ia tahu, betapa baiknya dirimu. Ia pasti akan menyesal seumur hidup telah membuatmu menangis. Eh, tapi, kupikir Brima itu anak yang baik. Pasti bukan karena Brima, deh. Lalu mengapa kamu menangis?

Aduh, aku jadi ikut bingung. Kamu ini tak mau bercerita padaku, padahal aku temanmu, kan? Aku rela kok jika kamu bercerita dan semua keluh kesahmu aku tampung. Mengapa ragu sih?

Kamu sedang berkaca. Mematut diri. Membetulkan krah baju agar lebih rapi. Meskipun kamu hampir jarang bersolek, tetapi sungguh, kamu cantik alami. Aku menyukaimu. Meski kata ibuku tidak boleh.

Dengan kaos t-shirt oranye kesukaanmu, kamu terlihat cantik. Seperti mengagumi diri sendiri, sambil membetulkan make up bedak tipis-tipis, lalu memakai lipstik warna mate. Aku suka sederhanamu.

Sempat kamu menyibakkan rambut sebahu, hingga mengenai mukaku. Kamu tersenyum tipis, seolah mengatakan, "Rasain, kamu. Suka usil deket-deket aku."

Yah, aku kan cuma ingin berteman. Tak lebih.

***

Suatu hari kamu pergi. Aku mengikutimu dari belakang, tanpa kau tahu. Aku juga berpura-pura tak mengenalmu. Lalu, mengapa bisa begitu? Aku hanya ingin jadi pengamatmu saja dari jauh. 

Tentu saja kau tak tahu, karena aku tak memberitahukanmu. Biasanya aku akan bilang, kalau aku ingin ikut denganmu. Lalu kamu bilang, "Baiklah, kamu boleh ikut. Tapi jangan nakal, ya." Aku menggangguk senang. 

Bingung ya, mengapa begitu? Baik, akan aku jelaskan. Aku memang tak seperti orang kebanyakan. Aku tak tampak. Hanya Sasti yang tahu. Tapi kali ini ia tak melihatku. Aku memakai ilmu yang diajarkan ibu. Ilmu Menghilangkan Diri.

Criiing!

Lalu? Adegan itupun berlangsung. Aku sebal melihatnya.

"Sasti... "

"Brim..."

Tuh kan kamu bertemu dia lagi, dia lagi. Brima! Aku sangat cemburu pada Brima. Hanya ada Brima di hatimu. Aku? Tak berarti bagimu. Huh!

Praaang...!

Piring yang ada didepan Brima tiba-tiba terlempar, kemudian pecah mengenai tangannya. Ia berdarah. Sedangkan kamu kebingungan. Cemas. Lalu menengok ke kanan dan kiri. Hatimu bertanya, "Dimitri, kamu ada di dekat sini, ya? Mengapa kamu jadi jahat?" 

Wajahmu itu kuingat. Betapa marahnya dirimu. Maafkan aku Sasti, aku terlalu cemburu. Pada Brima kekasihmu.

Ingin rasanya aku mendekapmu. Membawamu pergi dari sini. Aku ingin memilikimu. Tapi apalah dayaku. 

Beraninya kau pergi dan tak kembali.

Tinggallah aku sendiri, hanya sendiri.

Maka, nantikanku kelak, di sini, menjadi teman baikmu lagi, seperti biasa.

Setelah peristiwa itu, ayahmu telah memanggil "orang pintar" mengusirku keluar dari kamar. Pergi entah kemana di tempat yang jauh darimu. Aku tak tahu tempat apa ini. 

Oh, Sasti. Tanpa dirimu, di sini aku merana sendiri. Sasti, boleh aku kembali padamu? Jawab, Sas!

"................."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun