"Bu, kursinya sudah selesai. Ongkosnya satu juta, ya," kata Ayah.Â
"Mahal sekali, boleh ditawar, Pak?" jawab saya. Lalu kemudian diikuti tawa berderai dari kami. Tentu saja obrolan ini adalah bercanda. Karena sofa itu milik sendiri. Sofa itu awalnya kulit luarnya sudah rusak dan koyak.Â
Kami memiliki kucing, yang sering mengasah kukunya di sofa dan kursi-kursi. Akibatnya menjadi tidak cantik lagi karena robek di beberapa tempat. Meski kursi itu bentuk dan kayunya masih bagus, tetapi pembungkusnya robek terkena cakaran kucing.
Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan makanan, lebih baik menunggu abang sayur, juga penjual keliling lainnya. Jika terpaksa membeli di toko, maka harus memakai masker dan sesampainya di rumah langsung harus mencuci tangan dengan sabun. Saya yang paling cerewet, karena kadang-kadang mereka suka lalai. Â
Dan karena sering berada di rumah itulah, kadangkala kebosanan melanda, sehingga mencari-cari hal yang bisa dikerjakan untuk mengusir bosan. Salah satunya adalah memperbaiki kursi dan sofa.Â
Kami lalu ke toko mencari kain untuk kursi yang coraknya sesuai dengan selera. Sebenarnya jika ditanya apakah kami pernah dan pandai memperbaiki kursi? Jawabannya: tidak.
Nekat saja dan menggali kreativitas. Mempelajarinya langsung dengan mengerjakannya. Learning by doing. Tak perlu menjadi ahli kan, karena toh untuk sendiri dan tidak untuk dijual.Â
Semua mendapat bagian pekerjaan. Saya juga ikutan membantu, meski hanya dengan urun memaku dan menjahit di beberapa tempat. Saya juga ikut memilih corak kain pada saat membelinya. Lumayan kan, kerja sama yang bagus dan kompak.
Ketika telah selesai, maka akan mendapatkan kepuasan. Meski tidak serapi seperti tukang yang ahli, tetapi jika buatan sendiri menjadi terasa beda. Ada sentuhan yang menyenangkan ketika melihatnya dan mencobanya. Hahaha... serius. Beda rasanya!Â