Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menghitung Hari-hari Bersamamu

5 Juni 2020   16:02 Diperbarui: 6 Juni 2020   08:05 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock

Melewati hari bersamamu, membutuhkan nyali tujuh belas kali lebih besar. Menghitung detik demi detik, agar kamu senantiasa berada di sisi. Selebihnya milik lukisan yang ada dalam kanvas yang menjadi nafasmu.

"Berapa lama lagi lukisan itu akan selesai?"

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung bagaimana kau memperlakukanku. Jika kau terlalu rewel, maka lukisan ini akan lama selesainya." jawabmu sambil terbahak.

Aku hanya mendengus sebal. Selalu begitu. Apakah lukisan itu lebih penting dari aku?

"Hei, kau tak perlu cemburu, Dik. Tetapi, mengertilah, ia adalah nafasku."

"Ini bukan kemauanku, ya." jawabku sambil cemberut.

Baiklah, aku mengerti. Cinta yang terbagi dua memang membuatku sedikit cemburu. Tetapi ini bukan melulu kemauanku.

***

Berbagai cara kulakukan agar kamu menjadi milikku seutuhnya. Tanpa kanvas dan cat-cat yang berserakan itu. Tetapi memang mencintaimu haruslah mencintai kanvas dan cat-cat yang berserakan pula. Itulah kenyataannya.

"Aku ingin sesuatu, tapi aku nggak ngerti mau apa." kataku di suatu hari. 

"Kamu ingin makan yang enak? Aku belikan, ya? Atau mau kemana? Aku antar. Aku siap, Dik." katamu sigap.

Entahlah, aku sendiri juga tak mengerti. Mengapa terkadang perasaanku seperti berbalik-balik dan jumping. Tak terduga dan terlalu sensi. Jika tak sesuai hati, bisa marah dan ngambeg. Dan itu membuatmu tak tega melihatku. 

Secepat kilat, kamu menuruti permintaanku. Apapun itu. Betapa baiknya dirimu.

"Maafkan aku, ya. Membuatmu repot. Tapi ini bukan kemauanku." kataku pelan.

"Tak apa, selama aku bisa, apa sih yang enggak buatmu, Dik."

Aku tersenyum bahagia. Begitu pula dirimu.

***

Menyebut namamu tiga kali itu ibarat mantra. Ketika kangen mendera, aku melakukannya. Kamu akan datang secepat kilat. Entah menelpon atau menujuku. Padahal terkadang kamu berada di tempat yang berjarak, bisa berpuluh kilometer dariku.

"Kamu kenapa? Kok perasaanku nggak enak. Aku seperti terpanggil untuk mengingatmu. Tiba-tiba aku ingin bersamamu." katamu.

Nah, kan. Mantra yang kupunya selalu bisa menembus hatimu. Dengan sedikit telepati, kau akan tersentuh. "Jika bukan karena aku sayang padamu, aku tak akan melakukannya, ya." kataku dalam hati.

Selanjutnya aku tertawa girang, karena mampu memainkan perasaanmu. Dengan sedikit akting, mantra ini benar-benar manjur.

"Aku sakit," kataku menghiba. 

"Sakit apa kamu, Dik? Aku antar kamu ke dokter ya?"

"Nggak usah. Ini sudah baikan. Tadi aku pusing. Sekarang sudah minum vitamin. Sebentar lagi juga pasti sembuh."

Sungguh, tetapi nyatanya mataku berkaca-kaca ketika kamu datang tak lama, hanya dalam hitungan detik telah sampai di hadapanku. Kamu benar-benar sayang padaku. Meski terbagi dua, bersama lukisanmu. Tak sia aku memberikan mantra untukmu. 

"Syukurlah. Aku sangat mencemaskanmu. Kupikir kau kenapa-napa." 

Terlihat wajahmu pias cemas. 

"Iya, aku sudah baikan, Masku." jawabku pelan.

Kamu bernafas lega, lalu pamit. Kamu berkata tak bisa meninggalkan lukisan lama-lama. 

"Mumpung ide baru mengalir. Kapan lagi, Dik."

Baiklah, sepertinya memang separuhmu bukan aku. Hanya seperempat. Seperempatnya lagi untuk lukisan yang belum jadi. Studio telah memanggilmu.

***

Hari ini adalah hari ulang tahunmu. Di tahun sebelumnya, selalu ada ungkapan sayang dariku. Tetapi instingku mengatakan bahwa di hari ini akan ada sebuah kejutan besar untukmu. 

Aku berpura-pura lupa, tak mengucapkan selamat. Kamu pasti mengira aku melupa. Aku tertawa dalam hati, ketika melihatmu jengah saat ingin menanyakan sesuatu. Dan menggodamu adalah hal yang menyenangkan.

"Dik, kau melupakan sesuatu?"

"Enggak. Bekal untukmu sudah kan? Masker juga sudah aku siapkan, tinggal pakai. Semua ada dalam tas coklatmu."

Memang ya, dimasa sekarang segalanya berubah. Tak seperti di hari lalu. Sejak diberlakukan new normal, perilaku menjadi berubah. Menyesuaikan kondisi yang ada sekarang. Masker, jaga jarak, rajin cuci tangan, bawa bekal sendiri. Semua harus dipersiapkan sendiri, untuk diri sendiri.

"Tapi, Dik. Biasanya kamu..."

"Klien yang akan membeli lukisanmu sudah menunggu, kan? Lupa ya? Lukisan? Nafasmu?"

"Baiklah, aku berangkat dulu, ya." katamu.

Kamu mengecup keningku kemudian segera berlalu. 

***

Perutku mulas, tetapi ini bukan mulas biasa. Bergantian, antara mulas dan tidak. Mungkin saatnya tiba. Aku meringis kesakitan.

"Mas, sepertinya ini saatnya." kataku lewat telpon.

"Baiklah, aku segera pulang. Sabar ya, Dik."

Ya, ya. Memang selama perutku membesar, aku menjadi lebih manja. Membenci bau cat dan melihat kanvas. Padahal mana bisa pelukis jauh dari cat dan kanvas? 

Manja dan ingin selalu berada di sampingmu, ini juga bukan permintaanku. Tetapi ia yang ada di dalam perutku, yang kupanggil Aira.

***

Kamu memandang Aira yang baru saja terlahir dari perut, tepat di hari ulang tahunmu. Rona kebahagiaan tampak utuh penuh. Ini adalah hadiah istimewa untukmu. Kejutan indah di hari jadimu.

"Selamat ulang tahun, Masku."

"Terimakasih, Dik. Aira adalah kado terindah untukku. Aku kira kau melupakannya."

"Tentu saja tidak, sayang." kataku lembut.

Beberapa hari ke depan, agaknya ada yang sedikit berubah dari hari-harimu. Fokusmu tak lagi lukisan. Aira membuatmu lebih codong padanya. 

"Bagaimana tentang lukisan yang menjadi nafasmu?"

"Lupakan dulu tentang lukisan, Dik. Ia masih bisa menunggu. Tapi Airaku, aku tak mau kehilangan sedikitpun momen ia bergerak. Ia nafasku selanjutnya sekarang." katamu bahagia.

Aku tersenyum. Tetapi ingatanku kembali beralih. Oh, harus terbagi seper berapa lagi hatimu untukku? Jika separuhmu adalah untuk lukisan, Aira, dan aku? 

Ah, tapi biar sajalah. Tak usah terlalu kupikirkan. Bisa melihatmu bahagia saja, aku sudah senang. Tak peduli seper berapa aku tinggal di hatimu.

Semarang, 5 Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun