Selanjutnya aku tertawa girang, karena mampu memainkan perasaanmu. Dengan sedikit akting, mantra ini benar-benar manjur.
"Aku sakit," kataku menghiba.Â
"Sakit apa kamu, Dik? Aku antar kamu ke dokter ya?"
"Nggak usah. Ini sudah baikan. Tadi aku pusing. Sekarang sudah minum vitamin. Sebentar lagi juga pasti sembuh."
Sungguh, tetapi nyatanya mataku berkaca-kaca ketika kamu datang tak lama, hanya dalam hitungan detik telah sampai di hadapanku. Kamu benar-benar sayang padaku. Meski terbagi dua, bersama lukisanmu. Tak sia aku memberikan mantra untukmu.Â
"Syukurlah. Aku sangat mencemaskanmu. Kupikir kau kenapa-napa."Â
Terlihat wajahmu pias cemas.Â
"Iya, aku sudah baikan, Masku." jawabku pelan.
Kamu bernafas lega, lalu pamit. Kamu berkata tak bisa meninggalkan lukisan lama-lama.Â
"Mumpung ide baru mengalir. Kapan lagi, Dik."
Baiklah, sepertinya memang separuhmu bukan aku. Hanya seperempat. Seperempatnya lagi untuk lukisan yang belum jadi. Studio telah memanggilmu.