Di musim penghujan dan hari yang basah, seringkali dingin menerpa. Apalagi jika hujan datang sejak siang hingga sore hari, pastinya ingin menyantap yang hangat dan segar. Menghalau dinginnya cuaca, lalu menyantap makanan hangat bisa memberi perasaan nyaman pada tubuh.Â
Pada hari Jumat kemarin (7/2/20), sejak pagi cuaca mendung, dan ketika hari beranjak sore, bahkan hujan disertai petir datang menderu-deru. Saya dan teman saya, masih dalam perjalanan saat itu ke Yogyakarta. Dari rumah Semarang berangkat pagi hari. Lalu ketika sampai di kota Yogya, hari sudah menjelang siang. Kemudian segera menyelesaikan urusan, hingga sore hari.Â
Ya. Memang ketika saya sedang berada di kota Togya, selalu ingin menikmati Yogya dengan segala keriuhannya. Dan ketika sore hari hujan, maka terbayanglah sepiring Bakmi Anglo.Â
Cuaca mendukung. Perut menari-nari, sungguh ingin diiisi. Kebetulan perjalanan pulang menuju Semarang, saya sering mampir ke sebuah warung bakmi. Cocok.Â
Namanya Warung Bakmi & Brongkos Mbak Sri, yang berada di Jalan Raya Yogyakarta-Magelang Tempel. Sebelum masuk Jembatan Kali Krasak yang merupakan perbatasanan antara Kota Yogyakarta dengan Jawa Tengah. Pas untuk ampiran bagi pejalan, karena lokasinya di pinggir jalan utama.Â
Saya hafal jadwal buka warung, jam 4 sore hingga malam hari. Maka ketika melewati lokasi pukul 5 sore, pasti warung sudah buka. Syukurlah, ketika sampai di sana, warung buka dan saya tidak kecewa.Â
Karena pernah di lain hari, saya ingin mampir, berharap dan sudah membayangkan bakmi anglo, ternyata warung tutup. Kecewa tentunya. Dan pemilik warung bilang, mungkin saat itu, saya mampir di hari Minggu. Ya, ya. Memang Hari Minggu warung tutup. Sedang di hari lainnya buka. Oh, begitu ya. Baru tahu, bu. Baiklah, akan saya catat. Jika ingin mampir, selain hari Minggu, ya.Â
Ketika sampai warung, lalu duduk, saya dihampiri mbak yang biasa melayani. Kemudian disodori secarik kertas dan bolpen. Tentunya, untuk mencatat makanan yang hendak dipesan.Â
Saya memesan bakmi godhog alias bakmi rebus. Kelezatannya sudah terbayangkan di pelupuk mata. Sedangkan teman saya memesan Capjay goreng plus petai.Â
Oh, iya. Petai yang tergantung di atas lapak, bisa juga dipadukan dengan Capjay Jawa. Teman saya memang menyukai petai. Sedangkan saya tak begitu suka. Untuk minumannya, saya memesan Teh Cong Gula Batu. Hum, terbayangkan harumnya, wangi bau melati yang membaur di dedaunan teh.Â
Lalu saya menyelipkan dua kata di kertas pemesanan, selain kata makanan yang dipesan.Â
Ia memiliki warung sudah sejak lama. Kurang lebih 57 tahun yang lalu. Dari sejak milik ibunya, hingga sekarang generasi ketiga. Yaitu anaknya, Mbak Sri, yang biasa berjaga malam hari, bergantian dengan Bu Titik yang berjaga sore hari.Â
Pesanan pun jadi. Memasaknya satu persatu. Meskipun memasaknya satu persatu, tetapi prosesnya cepat. Bahan sudah siap, hanya tinggal cemplung. Juga penggorengan yang setiap kali memasak berganti. Jadi, ada beberapa penggorengan tersedia yang mempercepat prosesnya.Â
Bakmi godhog yang jadi duluan. Karena makanan berkuah, sangat panas, sehingga dimasak giliran pertama. Lalu kemudian baru capjay gorengnya.Â
Sedap sekali baunya. Aroma arang yang khas. Memasak bakmi anglo memakai kompor dari tanah liat yang bernama anglo. Sedang bahan bakarnya adalah bara arang. Harus dikipas, agar bara tetap menyala. Juga sesekali arang ditambah jangan sampai habis menjadi abu. Mengipasnya memakai kipas angin biar cepat dan tak padam.Â
Saat agak hangat, sesendok demi sesendok bakmi berpindah tempat. Hem, rasanya gurih asin. Sedap. Dengan cabai rawit hijau yang diiris. Mantap pedas. Badan menjadi hangat, bahkan berkeringat! Sesuai selera.Â
Ayam berpadu dalam bakmi adalah ayam kampung. Tentunya lebih gurih dan khas. Sedang sayurnya hanya kol, sawi hijau, dan tomat. Kuahnya yang berlimpah ruah, sungguh! Sajian ini segar sekali disantap saat hujan dan dingin. Pas, mantap!Â
Pesanan capjay goreng milik teman saya juga sudah jadi. Saya meliriknya. Ihiks, ada petainya. Hum, segarnya. Saya kemudian berkata, ikut nyicip, ya. Ia mengangguk. Ia memang selalu baik hati.Â
Saya mengambil sepucuk sendok capjay. Hanya ingin tahu rasanya. Manis gurih. Petainya masih kriuk saat dikunyah. Saya memang tidak suka petai, tetapi doyan. Hahaha... Hanya sesekali. Tidak banyak.Â
Nah, sedangkan untuk minuman Teh Cong Gula Batu, bayangkanlah dengan kata "Wasgitel". Wangi, Sedap, Legi atau manis, dan Kental. Tehnya teh tubruk. Jika teh telah tertuang dalam gelas yang sudah diberi gula batu, maka gelas teh akan di cong lagi alias dituang kembali dengan air panas.Â
Maka namanya Teh Cong Gula Batu. Karena tehnya dicong kembali saat habis, dan gulanya gula batu. Cocok dipadukan dengan Bakmi Anglo yang hangat, segar dan gurih. Manis gurih berpadu. Juga capjaynya. Tertuntaskan rasa kuliner saya.Â
Dan... saat saya akan membayar makanan, mbak yang memasak tadi terkekeh-kekeh.Â
"Loh, ada apa mbak kok ketawa?" tanya saya. Ternyata dia tertawa pada dua kata yang tertulis di selipan kertas pesanan tadi.Â
"Terimakasih, Bu Wahyu." katanya. Loh, kok dia tahu nama saya? Hahaha... Tahukah? Itu cara saya mengajak berkenalan.Â
Maka iapun memperkenalkan diri. Ia bernama Mbak Indah. Dan dua kata tadi adalah: Bu Wahyu.Â
Nah, kan. Membuat orang lain berbahagia dan tertawa itu mudah. Salah satunya adalah seperti cara saya. Menyelipkan nama di kertas pesanan. Ia tertawa, karena orang lain tak pernah melakukannya!Â
So, see you... Happy weekend.Â
Salam,Â
Wahyu Sapta.Â
Semarang, 8 Februari 2020.