Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senyum Fariz

30 November 2019   16:22 Diperbarui: 30 November 2019   16:21 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

Aku menyebutnya di luar rata-rata. Di luar kebanyakan orang. Aneh, kan? Itu disebabkan karena matanya yang tak mau menatapku saat berhadapan. Aku yakin, ini tak biasa. Tangan selalu bergerak tak mau berhenti. Seperti resah dan bingung.

Bergumam tak jelas, seolah tak nyaman. Seperti ingin menyuarakan sesuatu, tetapi ia tak mau mengungkapkannya. Mirip menggerutu. Padahal, aku tak pernah menyalahkan dia atau apapun. Aku hanya ingin ia berbicara denganku. Tak lebih.

Wajah tampannya, menarik perhatianku. Badan bongsor dan tegap. Aku mengenalnya sejak lama, saat ia masih kanak-kanak. Aku mengenalnya karena ia pernah menjadi teman bermain ketika masih SD. Ia lebih tua satu tahun dariku. Lalu aku pindah ke lain kota, sedang ia masih di tempat yang sama.

Kemudian ketika aku sering mengunjungi rumah Pamanku, yang kebetulan berdekatan dengan rumahnya yang tak jauh dari rumah lamaku. Sering aku melewati rumahnya, meski hanya sebatas melirik. Tidak berkunjung ke dalam.

Lama aku tak menemuinya. Entah sejak kapan. Oya, aku ingat. Sejak lepas lebaran kemarin. Apakah ini bisa dibilang jatuh hati? Oh, serius. Aku tidak jatuh hati padanya. Aku hanya kagum pada hasil karyanya. Ada berlembar-lembar kertas dan pensil yang berserakan di rumahnya. Ia memiliki sanggar yang bisa dikunjungi setiap saat di sebelah rumah orang tuanya.

Ibunya yang mengusulkan agar ia dibuatkan sanggar oleh bapaknya. Dan syukurlah, bahwa orang tuanya sungguh sayang padanya. Ia memiliki sanggar dengan luas empat kali lima meter yang dibangun gazebo.

Beberapa kertas telah terisi, sungguh indah. Goresan pensil dengan arsiran kuat. Membuatku takjub. Jika ia bersikap aneh, itu diluar kemauanku. Entah mengapa, ia canggung. Padahal aku juga tak pernah bersikap agresif padanya. Darimana ia menjadi canggung? Aku rasa ia saja yang bersikap aneh. Atau jangan-jangan ia suka padaku? Tetapi kemudian aku tertawa sendiri dengan geerku.

"Gambarmu bagus!" sapaku ketika aku mampir dan masuk ke sanggarnya.

Tak ada sahutan. Hanya hening. Senyum pun tidak. Aku mengerti, ada hal yang tak bisa terungkap. Ia seperti tak suka padaku. Oh, kenapa? Apakah aku bersalah padanya? Bahkan aku jarang berbicara padanya sebelum ini. Hanya menganggukkan kepala saat bertemu, ketika melewati rumahnya. Itu saja.

***

Ini adalah pertemuan yang entah keberapa kali. Tetapi hatinya mulai lunak. Tak ada lagi wajah datar. Meski tidak ada senyuman di sana. Paling tidak, ia tak menolak kehadiranku. Terlihat dari sikapnya, tanpa mematung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun