Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Menuju Fitri, Bahagia yang Datang Tepat Waktu

23 Mei 2019   09:45 Diperbarui: 23 Mei 2019   10:10 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dok. Wahyu Sapta

"Bersikaplah baik. Nanti ayahmu pasti akan menuruti permintaanmu."

"Tetapi dari yang sudah-sudah, ayah jarang memberikan sesuatu yang aku inginkan. Apalagi memberi untuk ibu. Mengapa begitu, bu? Apa salah ibu?"

"Sudahlah. Turuti kata ibu. Ibu tunggu di sini. Ibu tak bisa ikut masuk. Ayahmu masih marah pada ibu." kata Runi sambil menahan diri. Hari ini masih puasa. Ia tak bisa bersikap emosi jika ingin puasanya hanya menahan haus dan lapar.

Angannya mengembara pada masa itu. Ketika ia terjerembab dalam kemarahan yang membara. Hingga mengusik ketenangannya dan keluarga.

***

Ini seperti mengerjakan exam. Runi harus menyelesaikannya tanpa salah. Tetapi kehidupan tidaklah sempurna dan manusia tempatnya salah.

"Jika aku tak sempurna, bukankah ini sesuatu yang tak bisa disalahkan?" batinnya. Ia memang merasa  bersalah. Dan ayah dari Ibrahim anak semata wayangnya, belum memaafkannya.

Ia sebenarnya ingin melupakan masa lalu, yang telah membuat hatinya begitu perih. Tetapi ternyata dalam kehidupan, masa lalu akan terus mengikuti dan tak pernah bisa terlupakan. Hanya butuh merelakan, agar masa lalu mengikuti tanpa menganggu. Hal itulah yang masih ia pelajari. Tak mudah memang. Tetapi ia patut bersyukur, karena sekarang dikelilingi orang yang sangat sayang padanya. Ibrahim, juga kakek dan nenek Ibrahim.

Orangtuanya masih merangkul erat. Meski ia telah membuat kecewa mereka. Terutama ayahnya. Yang sejak awal meragukan pilihan hatinya. Ia berpisah dengan Sakti, karena kesalah pahaman. Emosi yang telah membuatnya semakin runyam. Meskipun saat ini ia masih berstatus istri. Tetapi ia tak bisa jika harus tinggal bersama. Ia memilih pulang ke rumah orang tuanya sementara waktu, hingga keadaan memungkinkan untuk kembali.

***

Runi sudah berusaha menebus kesalahan dengan menghubungi Sakti terlebih dahulu. Beberapa kali ia menelponnya. Tidak diangkat. WA juga belum dibalasnya. Padahal ia tahu, Sakti telah membacanya. "Baiklah, tak mengapa, mungkin ia masih marah padaku. Ini salahku. Aku harus bisa menerima jika ia marah, bukan?" batinnya.

Bodohnya ia menuduh Sakti telah berpaling darinya. Suatu hari ia menemukan sebuah pesan singkat. Berisi ucapan mesra dari seorang perempuan bernama Desi. Bagaimana ia bisa menerimanya? Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Saat ia mengkonfirmasikan pada Sakti, ia tampak berkelit dan mengatakan bahwa Desi adalah sahabatnya sejak kecil. Ia biasa bercanda dengan kata-kata yang mesra, padahal sebenarnya tidak. Bagaimana ia percaya? Jika Desi ternyata masih lajang dan belum bersuami?

Emosi yang meletup itu, membuatnya pamit. Runi kembali ke rumah orang tuanya. Bahkan hingga berbulan-bulan. Lebih dari empat bulan. Sebenarnya ada perasaan rindu yang menggema dalam hatinya. Apalagi Ibrahim selalu menanyakan ayahnya.

***

Benar saja, Runi hanya salah paham. Desi memang tidak bermaksud ingin merebut Sakti. Ia telah memiliki kekasih. Orang Perancis dan setelah menikah, Desi dibawanya ke negara tempat asal suaminya. Runi tahu, Sakti adalah orang baik. Sehingga kadang-kadang kebaikan itu disalah artikan oleh orang lain.
Karena tuduhan Runi itulah, maka Sakti marah. Kemarahan itu ditunjukkan dengan sikap diamnya. Dan membiarkan Runi.

***

Lamunan Runi berlanjut. Ia pernah menuliskan sesuatu di buku hariannya. Ia buat ketika keadaan hatinya masih kacau. Dan hatinya sedikit lega, ketika ia menuliskan segala keluh kesah hatinya. Ia baca kembali sambil menunggu Ibrahim menemui ayahnya.

Cinta dan Rindu di Tanganmu
Kau memberikan bibit cinta dan rindu. Kau menyiramnya dengan setulus hati serta kasih sayang. Hingga cinta dan rindu tumbuh dengan baik. Bahkan sesekali kau memberikannya pupuk cemburu. Agar mereka tumbuh dengan subur.
Tetapi saat cinta dan rindu bertumbuh sempurna, kau memangkasnya tanpa ampun. Bersih tak bersisa.
Lalu kau menyiram dan memupuknya kembali, hingga mereka tumbuh kembali. Cinta dan rindu ada kembali, tumbuh kembali.
Begitulah terus menerus.
Oh,
Tahukah kau?
Betapa sakitnya saat kau memangkas cinta dan rindu itu? Mereka mengalami luka.
Lalu dalam luka mereka bertumbuh kembali,
Luka lagi.
Bertumbuh kembali?
Cinta dan rindu ini merasakan riang, lalu nestapa. Begitulah terus menerus.
Mereka merasa, dirinya tak akan pernah menjadi sesuatu yang sempurna, meski kau merawatnya dengan baik, menyiramnya baik pula. Bahkan memupuknya dengan yang terbaik.
Mereka tak akan pernah tumbuh menjadi liar untuk menemukan jati dirinya. Mereka akan selalu patah dan patah. Luka demi luka. Lalu tumbuh, patah, luka, tumbuh, patah, luka, oh.
Cinta dan rindu di tanganmu,
: menyisakan lara.

***

Hari ini adalah ramadan ke delapan belas. Sepertiga bulan kedua dari ramadan suci. Saatnya bulan penuh ampunan. Ia selalu berdoa kepada Allah SWT, agar kesalahannya diampuni. Dan ia juga berharap agar Sakti membukakan hati untuk memaafkannya.

Sementara itu ia masih menunggu Ibrahim. Di depan sebuah rumah, yang pernah dihuninya. Ada kebahagiaan di dalamnya. Tapi, itu dulu. Runi menghela nafas dalam-dalam.

"Mengapa kamu tidak masuk?" kata seseorang. 

Sesuatu yang tak disangka dan tiba-tiba, membuatnya terkejut. Sedangkan Ibrahim ada di sisinya. Ibrahim masih berumur sepuluh tahun. Tetapi sikap dewasanya menjadikan ia seperti anak dewasa. Selalu mengerti keadaan Runi. Dan berusaha melindungi ibunya. Ibrahim merangkul ayahnya seperti tak ingin melepasnya.

"Aku..."

"Ayolah masuk." katanya seperti sebuah perintah

"Tapi..."

"Runi, aku mohon."

Tatapan matanya yang seperti menerjang jantung hatinya, membuat luluh. Akhirnya Runi masuk menuruti kemauan Sakti.

"Mengapa kau selalu keras padaku? Lunakkanlah hatimu sedikit untukku, Runi. Demi Ibrahim, anak kita."

"Jadi, kau tak lagi marah padaku?"

"Siapa yang marah padamu? Aku telah memaafkanmu sejak lama. Sejak salah pahammu itu ada. Aku hanya menunggumu agar tak marah. Emosimu tak meledak-ledak lagi. Dan mampu berpikiran jernih."

"Lalu mengapa sikapmu padaku begitu? Hingga membuat aku dan Ibrahim sedikit merasakan kesakitan. Kau membiarkan aku dan Ibrahim menanggungnya sendirian."

"Runi, itu caraku agar kau mau kembali padaku. Percayalah, aku masih mencintaimu. Kembalilah padaku, Run." pintanya sambil sedikit tersekat.

Runi tak mampu mencernanya. Sakti membiarkan dirinya dan Ibrahim berjuang sendiri menghadapi hidup. Tanpa nafkah. Padahal kebutuhannya dan Ibrahim banyak. Untuk sehari-hari dan sekolah Ibrahim. Tetapi ia mengatakan masih mencintainya. "Come on, Sakti!" serunya dalam hati.

"Jika kau masih meragukanku, pulanglah dulu. Pikirkan tawaranku. Nanti sore menjelang berbuka aku ke rumah ayah. Menjemputmu. Memintamu kembali." kata Sakti tegas.

Ibrahim menuju pelukan Runi dan pulang. Ke rumah orang tua Runi.

***

Lebaran. Tak ada yang lebih bahagia, ketika semuanya berkumpul. Di sebuah rumah yang dinamakan Rumah Besar. Ada kakek, nenek, Ibrahim, tante Nayla, Om Asa, Pandu sepupu Ibrahim. Dan Runi. Semua bersuka cita menyambut Bulan Fitri, bulan penuh kemenangan. Oya, ada satu orang lagi yang ada di Rumah Besar. Namanya Sakti. 

Ia yang memegang kamera, lalu membuat kamera itu mode on otomatis. Ia membuat otomatis kamera menyala dengan jeda waktu 10 detik. Lalu ia berlarian, menuju ke sebelah Runi. Senyumnya penuh bahagia.

Semarang, 23 Mei 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun