tentang diriku dan aliran sungai yang berkelok,
sunyi tak berkesudahan,
malam gelap, larut dalam arusnya pendar bintang.
Aku berusaha menyibukkan diri setelah kepergianmu. Tepatnya cenderung berusaha, agar aku bisa melupakan tentang segala apa yang pernah kujalani bersamamu. Bahkan, aku memaksa diri. Hingga aku jatuh sakit.Â
"Aku sudah berusaha melupakannya, ibu. Tetapi, mengapa tak bisa?"
Ibu memaklumi kesedihan putrinya. Aku. Sejak kepergianmu, Danan. Kesedihan mendera, mengiringi, meski kusembunyikan dalam-dalam.
Bagaimana tak merasa sedih, hari bahagia yang sedianya segera datang, tapi nyatanya tidak. Kebahagiaan itu terenggut dengan paksa. Kamu kekasihku, tak bisa datang menjemput kebahagiaan itu. Untuk selamanya.
Aku menangis sejadi-jadinya.Â
"Mengapa ini harus terjadi padaku? Ini tidak adil." jeritku dalam hati. Tetapi aku sadar, tangisan tak akan membuatmu kembali. Lalu aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan setia padamu.Â
"Danan, bagaimanapun, kesetiaan ini adalah milikmu. Aku tak berhak untuk mengoyaknya. Aku berjanji akan setia padamu. Aku akan segera meyusulmu. Tunggu aku, Danan."
Demi mengarah padamu, harus bagaimana sikapku untukmu?