Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Dari Supersemar ke Supersamar

14 Maret 2018   05:30 Diperbarui: 11 Maret 2019   00:32 3783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali datangnya tanggal 11 Maret selalu kita diingatkan kepada peristiwa 52 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 Maret 1966. Peristiwa itu nampaknya belum lagi menjadi dokumensejarah karena sampai sekarang ini masih diperdebatkan. 

Hampir semua orang mengetahui bahwa pada tanggal 11 Maret 1966 itu terjadi sebuah peristiwa yaitu diterbitkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang selalu disingkat dengan Supersemar, oleh Presiden Soekarnodan diberikan kepada Letjen. Soeharto, yang pada saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat,  sebagai pengemban Supersemar tersebut.

Tentu saja peristiwa G.30.S/Gestok/Gestapu melatar belakangi Supersemartadi, tak ada argumenlain yang dapat mem-back uplahirnya surat sakti Supersemartersebut. Maka disitu terasa sekali nuansa politiknya, kemana kira-kira arah implementasi  Supersemar itu.

Jika dilakukan bedah politikterhadap isi dari Supersemar itu sendiri maka disitu tersirat suatu prediksisejarah, yang bermaknakan pengambil alihan kekuasaan secara paksa atau yang dinamakan coup d'etatatau kudeta.Satu hal yang perlu dipahamkan disini, pengambil alihan kekuasaan itu tidak mendadak tetapi berjalan secara berangsur-angsur atau bisa juga disebut evolution coup d'etat.

Oleh karenanya ada yang mengatakan Supersemaritu merupakan suatu kudetaterselubung. Tetapi, pernyataan itu dibantah oleh mereka yang berindikasimasih cinta kepada Orde Baru (Orba). Mereka mengatakan Supersemaritu bukanlah manifestasidari suatu kudetaatau pengambil alihan kekuasaan.

Tetapi, di ujungnya kita melihat kekuasaan itu berpindah dari tangan Soekarno kepada Soeharto. Kalau bukan kudeta, apa lagi namanya karena berpindahnya kekuasan itu tidak konstitusionalwalau ada yang mengatakan sudah konstitusionaltetapi konstitusional praktis, bukannya konstitusional yuridis.

sumber: www.merdeka.com
sumber: www.merdeka.com
Mari kita telusuri dalam bedah politikini.   Supersemartersebut diterbitkan atas kemauan siapa, apakah kemauan Soekarnoatau kemauannya para Jendral klikSoeharto. Selain itu tidak ada anjuran dari MPRS pada waktu itu ataupun DPR-GR (Gotong Royong) meminta agar Presiden Soekarnomenerbitkan semacam surat perintah untuk mengamankan situasi yang sudah kacau balau itu.

Mungkin saja hal itu disebabkan Presiden Soekarnobelum melihat Negara dalam bahaya, Presiden Soekarnohanya melihat situasiyang dipenuhi oleh gejolak para demonstranyang antiSoekarnosaja.  

Selain itu masih perlu ditelusuri lagi, mengapa surat perintah itu tidak diterbitkan di awal bulan Oktober 1965 saja, beberapa hari sesudah meletusnya G.30.S, mengapa baru diterbitkan lima bulan kemudian yaitu pada bulan Maret 1966, sebagai salah satu upaya mengantisipasiNegara dalam keadaan darurat.

Dalam persoalan itu bisa kita menerjemahkan apa yang tersirat didalam prosesiSupersemartersebut. Tentu saja dalam tenggang waktu lima bulan itu dikaji dan diatur siasat bagaimana menjatuhkan Presiden Soekarno dengan memanfaatkan situasiNegara dalam keadaan darurat.  

Lalu, satu pertanyaan lagi, apakah untuk memulihkan Negara dalam keadaan darurat itu diperlukan semacam surat perintah, apakah instruksisaja tidak cukup. Kalau mereka prajurit-prajurit ABRI yang benar-benar setia pada Negara dan patuh pada Panglima Tertinggi ABRI tak perlu mereka meminta-minta surat perintah.

ABRI itu adalah Abdi Negara, apa kata Negara itulah kata ABRI. Apa kata Presiden itu merupakan perintah. Tetapi, dikalangan ABRI sendiri pada waktu itu ikut pula terbelah yang disebabkan adanya situasiyang saling curiga mencurigai sesudah peristiwa G.30.S itu.

Simbioseantara situasiNegara dalam keadaan darurat dan situasiyang terdapat dikalangan ABRI itu sendiri menyebabkan datangnya prakarsa dari para jendral kliknyaSoehartoyaitu antara lain Brigjen M. Jusuf, Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud, Brigjen Maraden Panggabean untuk mengatasi keadaan tetapi dengan cara spesialismereka.  

Para Perwira Tinggi Angkatan Darat yang masih berpangkat Brigadir Jendralitu datang ke Istana Presiden di Bogor untuk meminta Presiden Soekarnomenanda tangani suatu konsepyang mereka bawa sendiri dari Jakarta yang dimasukkan  dalam map berwarna merah jambu berlogo Markas Besar Angkatan Darat.  

Konsep itulah yang dipaksakan harus ditanda tangani oleh Presiden Soekarnoyang tidak jelas apa isinya.Katanya Presiden Soekarnomau menanda tangani konsepitu karena ditodong dengan pistol oleh Brigjen Maraden Panggabeandan Mayjen Basuki Rachmat (versi lain).  

Jika konsep yang dipaksakan itu dianggap sebagai Supersemar yang asli tentu ada konseplain yang tidak asli alias palsu. Apakah konsepyang tidak asli itu adalah Supersemar yang selama ini kita ketahui dan sudah banyak dibaca orang.

Manakah yang sebenarnya yang otentik, apakah konsepSupersemaryang asli yang dipaksakan kepada Presiden Soekarno untuk menanda tanganinya ataukah konsepSupersemaryang selama ini kita ketahui dan sudah banyak dibaca orang.

Kalau tidak ada perbedaannya tentu teksdari Supersemar yang asli itu akan sama dengan teksSupersemar yang satu lagi. Tetapi, yang dikhawatirkan kalau tekskedua Supersemar itu berbeda  

Apakah Supersemaryang dianggap konsepyang tidak asli itu merupakan counterterhadap konsepSupersemaryang asli yang berada di tangannya para Jendral tersebut, kita sendiri tidak mengetahuinya. Dugaan kita kesitu memang ada sebab, dalam pidato kenegaraan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah"("JASMERAH")memang ada disebutkan Supersemar itu. "Jasmerah"tersebut adalah pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang terakhir.   

Hal ini secara indirectmemberikan warning kepada kita, baik judul pidato itu sendiri maupun Supersemar tersebut, akan ada rencana kudetapada Pemerintah yang sah yang dilakukan oleh oknum-oknumtertentu dari kalangan Angkatan Darat. Pada waktu itu boleh dikatakan hampir semua rakyat Indonesia tidak menyadari dengan peringatan tersebut.  

Tetapi, yang anehnya mengapa Supersemar yang asli itu dikatakan hilang padahal, konsepitu ada di tangan para Jendral. Suatu hal yang mustahil sebab, sewaktu memaksakannya untuk ditanda tangani oleh Presdien Soekarnokonsepitu masih aman, tetap terjaga. Tetapi, setelah ditanda tangani, kok, bisa hilang. Sampai sekarang kita tidak tahu dimana kini yang asli itu.

Karena itu kita mengatakan Supersemar tersebut sudah menjadi SUPERSAMARalias hilang, tak tentu dimana kini rimbanya. Tentu saja hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari beberapa kalangan praktisi, terutama para peneliti sejarah politik Indonesia, termasuk pakar-pakar politik.    

Konon kabarnya Supersemar yang asli itu ada di tangan Letjen M. Jusuf dan sebelum dia meninggal dunia pernah diminta oleh ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) untuk disimpan sebagai salah satu dokumensejarah. Yang ada pada ANRIhanyalah kopiandari Supersemar tersebut.

Sampai saat dia meninggal dunia permintaan ANRI tadi tidak dikabulkan. Bahkan, keluarganya sendiri pun tidak mau memberikan konsepasli Supersemar tersebut. Tentu hal ini mengundang tanda tanya besar, ada apa gerangan dibalik perbuatan Letjen M. Jusuf tersebut. Biarlah sejarah yang akan membuktikannya nanti.

Setelah Supersemarberada di tangan Letjen Soeharto maka sejak itu terjadilah dualismedalam kepemimpinan Negara, satu pihak di tangan Presiden Soekarno dan di pihak lain di tangan Letjen Soehartoyang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Letjen Soeharto mengambil prakarsa membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap dalangnya G.30.S/Gestapu/Gestok beserta neven-neven-nya seperti BTI, Pemuda Rakyat, CGMI, IPPI, Gerwani, HSI, Lekra, Sobsi, dan lain sebagainya. Setelah diterimanya Supersemarmaka keesokan harinya tanggal 12 Maret 1966 PKIpun dibubarkan. Jadi, tidak tunggu lama-lama lagi.

Dibubarkannya PKI itu setelah adanya surat sakti Supersemar.    Seakan disini Letjen Soehartobelum dapat membubarkan PKItanpa Supersemardan selama lima bulan itu dia hanya mampu menumpas saja tanpa ada perintah dari Presiden Soekarno. Jadi, pembubaran PKI itu diawali dengan penumpasan.

Akan tetapi didalam Supersemar tersebut sama sekali tidak ada perintah untuk membubarkan PKI, suatu langkah awal menunjukkan adanya pembangkangan Soehartoterhadap Presiden Soekarno yang nantinya berujung kepada kudeta.Tindakan Soeharto yang otoriteritu menunjukkan dia tidak hanya sampai disitu saja bertindak. Pada tindakan berikutnya dia melakukan penangkapan terhadap lima belas orang Menteri Kabinet Dwikora.

Pada tanggal 18 Maret 1966 ditangkaplah Menteri-Menteri seperti Dr. Subandrio, Dr. Khaerul Saleh, Ir. Setiyadi Reksoprojo, Sumarjo, Oei Ciu Tat, SH, Mayjen Dr. Sumarno Sosroatmojo, Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Mayjen Ahmadi, Letkol Muhd Syafe'i, Sutomo Martoprodoto, A. Astrawinata, SH, Drs. Muh. Akhadi,dan J. Tumakaka.

Menteri-Menteri itu di-indikasi-kan pro Komunis atau PKI. Tetapi, masalahnya bukan disitu melainkan dalam persoalan penangkapan tersebut. Bisakah seorang Menteri (Menpangad) menangkap Menteri-Menteri yang lain yang masih dalam satu Kabinet. Baru kali inilah terjadi di Indonesia, di negara-negara lain tak pernah terjadi yang demikian. Sungguh luar biasa sekali kebuasan Soeharto itu, benar-benar ekstrimotoriter, seperti raja diatas raja saja.

Lagi-lagi di dalam Supersemar itu tidak ada sedikitpun perintah untuk menangkap Menteri lalu, mengapa Menteri-Menteri itu ditangkap. Boleh jadi juga pada waktu menangkap itu tidak ada meminta izin lebih dahulu kepada Presiden Soekarno karena mungkin didasarkan pada strategimerebut kekuasaan.  

Di Indonesia ini hierarkiperaturan perundang-undangan yang berlaku yang paling tinggi adalah UUD, kemudian Ketetapan MPR, dibawahnya UU, lalu berturut-turut Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sedikit dibawahnya Instruksi Presiden.

Kita tidak bisa menentukannya secara pasti, Supersemar itu masuk yang mana, apakah bisa dimasukkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) atau dimasukkan dalam Instruksi Presiden(Inpres). Menurut hemat kita Supersemar itu hanya bisa dimasukkan dalam Instruksi Presiden(Inpres) saja karena ia bersifat perintah.

Anehnya, Supersemar yang dalam posisi-nya sebagai Instruksi Presiden(Inpres) tersebut kemudian didalam Sidang Umum IV MPRS ditempatkan dalam Ketetapan (TAP) MPRS dengan Nomor IX/MPRS/1966.   Tujuan utamanya tiada lain adalah memperkuat kedudukan Letjen Soehartoselaku pengemban Supersemar.

Disitu nampak sekali permainan politik tingkat tinggi namun, mereka lupa dengan ditetapkannya Supersemar itu dalam TAP MPRS berarti menegaskan secara kuat pelaksanaan dari isi Supersemar tersebut.

Karena ini demi kepentingan umum, rakyat banyak, seyogianya TAP MPRS tadi dijabarkan pula dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang menjadi gaweannya DPR-GR. Tetapi, yang demikian itu tidak terjadi sampai sekarang ini padahal, TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tersebut tidak pernah dicabut hingga kini.

Jadi, Supersemar itu dalam statusabadi hingga saat ini dan seharusnya pula perlu diwariskan kepada anak-anak Soehartosebagai pewarisnya dan berikan kepada mereka untuk memimpin Negara RI ini. Semua Presiden yang datang kemudian, sesudah Soehartoditurunkan pada tahun 1998, tidak sah karena bukan pewaris Supersemar.

Ooo ..., tidak bisa !  Mengapa, tidak bisa ?  Pikir saja oleh Anda, selama 32 tahun Soehartoberkuasa secara estafet, dia selaku penguasa telah merubah Indonesia ini menjadi setengah Republik dan setengah Kerajaan. Jadi, NKRI berubah makna menjadi Negara Kerajaan Republik Indonesia.

MPRS sendiri pada masa-masa 1966 -- 1967 hanya bisanya menghujat Presiden Soekarno untuk meminta pertanggung jawabannya tentang kebijakan Presiden yang dianggap tidak tegas mengutuk dan menumpas PKI dan antek-anteknya.

Dua kali Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban, yang terkenal dengan nama Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, tetapi isi pidato Presiden Soekarnokedua-duanya itu dianggap oleh MPRS yang dipimpin Jendral Abdul Haris Nasution tidak mencerminkan apa yang diminta oleh MPRS, artinya tidak ada ketegasan Presiden Soekarnodalam mengutuk dan menumpas PKI.

Memang, benar Presiden selaku Mandataris MPRS harus memberikan pertangung jawaban kepada MPRS tetapi atas segala kebijakan MPRS yang sudah ditetapkan dalam Ketetapan (TAP) MPRS.

Sementara TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) belum ada pada waktu Presiden Soekarnomenyampaikan pidato Nawaksara pada tanggal 22 Juni 1966. Setelah itulah baru dibuatkan TAP MPRS tentang Pembubaran PKItersebut.

Ini bagaimana cara kerjanya anggota-anggota MPRS pada waktu itu padahal, diantara mereka itu banyak yang bertitel sarjana bahkan, diantaranya ada yang Profesor-Profesor botak, tetapi membiarkan jalannya sidang yang tidak lagi serasi atau accommodate.Apakah diharu biru oleh rasa ketakutan, tidak tahulah kita.

Hanya pada Presiden Soekarno saja dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menghujat. Akhirnya diputuskanlah oleh MPRS memberhentikan Soekarnodari jabatannya sebagai Presiden dan Mandataris MPRS. Keputusan itu bukan didasarkan like and dislike tetapi, didasarkan pada pertimbangan lain yaitu untuk melakukan "kudeta" terhadap Presiden Soekarnosecara konstitusional.

Keputusan MPRS tersebut berdasarkan Nomor XXXIII/MPRS/1967 dimana dalam konsideran-nya hanya terlihat pertimbangan-pertimbangan situasi dan berkaca pada isi pidato Presiden Soekarno yang berjudul "Jas Merah", Nawaksara, dan Pelengkap Nawaksarasaja.     

Setelah kita melihat kenyataan lalu, kita ingin bertanya kepada MPRS, pernahkah MPRS meminta pertanggung jawaban pada Letjen Soeharto, selaku pengemban Supersemar, sampai dimana sudah Soehartomelaksanakan isidari apa yang diamanatkan oleh Supersemar tersebut?

Tidak pernah sekalipun MPRS melakukan seperti itu, nampak sekali berat sebelah. Sepertinya MPRS pada masa itu tidak lagi mencerminkan lembaga tertinggi negara tetapi sudah berubah fungsinya menjadi kandangnya politisi-politisi agen-agen neo imperialismesehingga nama MPRS tersebut pada waktu itu diplesetkan orang menjadi "Musnahkan Pengikut-Pengikut dan Rekan-Rekan Soekarno".

Dari apa yang sudah diuraikan diatas tadi jelas-jelas ada konspirasidikalangan orang-orang yang anti Soekarno untuk menjatuhkan Soekarno dan yang demikian ini tidak terlepas dari adanya pesanan rahasiadari pihak negara-negara Barat yang liberal kapitalistis.Negara-negara Barat menghendaki Indonesia bisa dijadikan sapi perahan dibawah pimpinan bonekaPresiden Soeharto.

Memang, kudetaterhadap Soekarnotidak serta merta karena tidak menggunakan kekuatan militer. Kudetaterhadap Soekarno boleh dikatakan berangsur -- angsuratau yang disebut evolution coup d'etat, yang dimulai dari Supersemarsampai kepada TAP MPRS  Nomor XXXIII/MPRS/1967  tentang  Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno.

Selain itu dengan TAP MPRS Nomor XXXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Penelitian Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno maka dapatlah dipastikan semua Ajaran-ajaran Bung Karno itu kemudian hanya dijadikan sebagai dokumen sejarahsaja alias tidak diajarkan lagi.

Tetapi, anehnya TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar tidak sampai dicabut padahal, didalam Supersemar tersebut tercantum suatu kalimat Letjen Soehartoharus "melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi", sementara ajarannya sudah dibekukan berdasarkan TAP MPRS yang sudah disebutkan diatas tadi.  

Jangankan "melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi"tersebut, untuk menjadikannya sebagai referensisaja, seperti dalam konsideran setiap TAP MPRS, sudah tidak diperkenankan lagi. Ajaran Bung Karno sudah dianggap ajaran yang "sesat" karena anti neo-liberalisme, neo-kapitalisme, neo-kolonialisme, dan neo-imperialisme.Ajaran Bung Karnodianggap berbau Marxisme.

Kalau ada anggota MPRS itu yang jeli melihat adanya kontradiksiTAP MPRS maka Sidang Istimewa MPRS itu bisa heboh dengan adanya dilemmatersebut. Sayangnya, tidak ada yang melihat sampai kesitu. Sidang itu dibiarkan berlalu bagaimana selera Pimpinan MPRS pada waktu itu.

Soekarnodituduh oleh semua mereka begundal nekolimitu tidak melaksanakan Pancasila secara murni. Apakah Soeharto itu sudah melaksanakan Pancasilaitu secara murni ? Penyimpangan banyak sekali. 

Kalau nanti ditanya, Pancasila yang murni itu yang mana. Jangan asal ngomong saja kalau tidak bisa menunjukkannya. Padahal, Soeharto sendiri sudah banyak melakukan pelanggaran terhadap Pancasila di dalam politik kenegaraannya.

Soeharto sendiri sudah berkuasa sampai 32 tahun lamanya dengan menggunakan dua jalur strategi.Yang pertama memanfaatkan pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum diamandemen.Yang kedua memobilisasirakyat dalam Pemilu agar memilih Golkar, partai yang setia mendukung Soeharto jadi Presiden.        

Apakah yang demikian itu disebut melaksanakan Pancasilasecara murni ? Silahkan anda menyimpulkannya !  ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun