Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Itu "Hanya Ada Kemauan Melawan"

10 Januari 2018   18:13 Diperbarui: 10 Januari 2018   19:09 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi massa (katakota.com)

Dari artikel ini penulis ingin mengisahkan ketika pernah memimpin unjuk rasa menentang rezim Soeharto selaku penguasa di zaman Orde Baru (Orba) dahulu. Unjuk rasa ini terjadi dipertengahan tahun 1996, lebih kurang 21 tahun yang lalu, setahun sebelum datangnya Krisis Moneter (Krismon).

Unjuk rasa tersebut berawal dari terjadinya kegoncangan politik di tubuh partai politik (parpol) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) karena Soeharto merasa tidak senang Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum (Ketum) parpol tersebut.

Terjadi konspirasi politik antara Soeharto dengan petinggi-petinggi PDI di bawah pimpinan Fatimah Achmad cs., yang memfasilitasi diadakannya Kongres Luar Biasa PDI di Medan pada bulan Juni 1996, asalkan saja Kongres tersebut dapat mengganti Ketua Umum PDI dari tangan Megawati Soekarnoputri kepada yang lainnya.   

Imbalannya buat Fatimah Achmad ialah dia akan dijadikan sebagai Wakil Ketua MPR hasil Pemilu 1997 mendatang. Akibat dari adanya konspirasi politik tersebut akhirnya PDI terbelah menjadi dua kubu, yang satu kubu Megawati dinamakan PDI Pro Munas/Pro Mega dan yang satu lagi kubu Fatimah Ahmad cs dinamakan PDI Pro Kongres.

peterkasenda.wordpress.com
peterkasenda.wordpress.com
Persoalan muncul.

Kongres PDI biasanya dilaksanakan sesudah Pemilu selesai tetapi mengapa kali ini kongres itu diadakan sebelum Pemilu. Tentu saja dibalik konflik internal itu ada maksud tertentu yaitu tidak memberi kesempatan bagi Megawati Soekarnoputri berkiprah lagi di dunia politik.   

Akhir Mei 1996 hampir semua TV, Pemerintah maupun Swasta, menyiarkan berita tentang akan diadakannya Kongres Luar Biasa PDI di Medan. Akibat dari berita tersebut akhirnya massa PDI terpecah menjadi dua, yang satu pro kepada kubunya PDI Pro Munas/Pro Mega dan yang satu lagi pro kepada kubunya PDI Pro Kongres menyusul terjadinya perpecahan dikalangan fungsionaris partai.

Tetapi, banyak diantara massa PDI tersebut yang ragu-ragu karena adanya rasa takut pada Penguasa. Jika dilihat secara statistik, massa PDI Pro Munas/Pro Mega jauh lebih banyak ketimbang massa PDI Pro Kongres. Sedangkan, PDI Pro Kongres itu bersandar sangat kuat kepada Penguasa.

Opini masyarakat mulai bergerak memberikan simpati kepada PDI Pro Munas/Pro Mega dan rasa simpati itu mungkin disebabkan masyarakat sudah mulai banyak yang merasa tidak senang kepada rezimPenguasa yang otoriter itu.

Apa lagi pada saat itu rezim Penguasa telah memberikan instruksi kepada semua Penguasa di daerah untuk membendung dan menahan gerakan-gerakan massa dari PDI Pro Munas/Pro Mega. Seakan pada waktu itu massa PDI Pro Munas/Pro Mega dianggap identik dengan PKI/Komunis. Namun pun demikian, massa PDI Pro Munas/Pro Mega akan tetap melawan.

Maka akhirnya ditetapkanlah akan diadakan unjuk rasa dan dari seluruh Indonesia di Kota Medan itulah buat pertama kali massa dari kubu PDI Pro Munas/Pro Mega melakukan unjuk rasa menentang diadakannya Kongres. Kalau bukan di Kota Medan diadakannya Kongres itu belum tentu massa dari kubu PDI Pro Munas/Pro Mega tersebut mau melakukan unjuk rasa.

Kalau tak melawan berarti seluruh massa PDIdiseluruh Sumatera Utara dianggap setuju diadakannya Kongres PDI di Kota Medan. Begitu logika politiknya maka itu perlu melakukan perlawanan untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa massa PDI seluruh Sumatera Utara tidak setuju dengan diadakannya Kongres PDI itu.

Massa PDI Pro Munas/Pro Mega akan merencanakan unjuk rasa di Kota Medan pada tanggal 6 Juni 1996, bertepatan dengan hari lahirnya Bung Karno. Namun, yang menjadi persoalan pokok dalam unjuk rasa tersebut siapa yang akan ditunjuk menjadi koordinator lapangan(korlap).

Persoalan itu menjadi serius karena salah seorang petinggi PDI Pro Munas/Pro Mega tingkat Dewan Daerah sudah mendapat ancaman dari pihak Penguasa dan aparat keamanan. Jika turun memimpin unjuk rasa tidak ditanggung keselamatan dirinya.

Persoalan berikut, kalaupun diadakan unjuk rasa lalu siapa massa PDI yang siap untuk menjadi relawannya. Pada waktu itu banyak dari massa PDI yang merasa enggan berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. Kebanyakan mereka itu merasa takut kalau nanti berhadapan dengan aparat keamanan.

Kita bisa maklum dengan konduite massa PDI seperti itu sebab, disaat itu banyak terdapat kader-kader salon dikalangan PDI itu sendiri. Bagi kader-kader demikian biasanya tidak suka adanya unjuk rasa -- unjuk rasa dan nyalinya pun hampir tidak ada kalau sudah berhadapan dengan aparat atau Penguasa.

Dengan adanya dua persoalan tersebut lalu, kubu PDI Pro Munas/Pro Mega DPD Sumatera Utara terpaksa meminta bantuan massa dan korlap kepada Gerakan Rakyat Marhaen (GRM), suatu organisasi massa (ormas) yang didirikan  di tahun 1981 oleh Mayor (pensiunan/Psn) Djamin Ginting, mantan anggota DPR RI.

Permintaannya itu dipenuhi padahal, massa GRM tidaklah sebanyak massa PDI. Akan tetapi dikalangan GRM sendiri timbul masalah, Ketua DPD GRM Sumatera Utara, juga mendapat intimidasi dan ancaman. Jika berani memimpin unjuk rasa PDI kontan akan diambil dan segera diamankan oleh yang berwajib.

Dengan adanya intimidasi dan ancaman seperti itu pihak Penguasa beranggapan bahwa mereka telah berhasil menggagalkan unjuk rasa yang akan direncanakan pada tanggal yang sudah ditentukan.

Lalu, pada malam tanggal 6 Juni 1996 tersebut PDI dan GRM berunding mencari siapa yang bisa dan sanggup memimpin unjuk rasa besok harinya itu. Pikir punya pikir akhirnya mereka mengambil keputusan menunjuk diri saya pribadi, penulis artikel ini, memimpin unjuk rasa besok.

Pada awalnya saya sendiri tidak tahu keputusan tersebut karena saya sendiri pada waktu itu tidak hadir bersama mereka.

Memang, disini saya sendiri terpaksa mengungkapkan identitas saya sehubungan dengan ditunjuknya pribadi saya sebagai koordinator lapangan (korlap) unjuk rasa. Saya pribadi pada waktu itu memang anggota GRM dan kebetulan jabatan saya di organisasi itu sebagai Wakil Ketua DPD GRM Sumatera Utara.

Disamping itu saya juga menjadi anggota PDI dan jabatan saya pada waktu itu hanyalah Bankorcam (pembantu Ketua) dari Komca PDI Kec. Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. DPC PDI Deli Serdang berkedudukan di Lubuk Pakam, tempat saya dilahirkan (2 Mei 1940, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional).

Tadinya saya pribadi tidak ada berkeinginan memasuki kedua organisasi itu tetapi, dikarenakan desakan hidup terpaksa juga saya mencari sandaran agar tidak terlalu parah sekali menjalani hidup ini. Itulah sebab awal mulanya saya masuk kedua organisasi tersebut sekalipun saya sadari apa resikonya.

Saya sendiri baru mengetahui kalau saya ditunjuk sebagai koordinator lapangan setelah ada utusan yang datang menjumpai saya. Kami bertemu pada jam 22.30 malam dipinggir Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Medan - Binjai KM. 12,03 tidak jauh dari rumahnya Bapak Mayor (Psn) R.M. Iyat yang juga anggota GRM.

Pada waktu itu saya sedang berjalan kaki dari rumah Korcam PDI Sunggal hendak pulang ke rumah saya di Desa Pujimulio. Ketika sedang jalan kaki itulah tiba-tiba saja sebuah mobil Toyota berhenti disamping saya. Mungkin ada yang mau tanya alamat, pikir hati saya.

Setelah saya tahu siapa orang yang ada di dalam mobil dan apa maksudnya lalu, saya ajak Sekretaris DPD GRM Sumut itu ke rumah Bapak Mayor (Psn) R.M. Iyat untuk merundingkan lebih detail lagi rencana unjuk rasa besok hari itu. Untungnya rumah Bapak R.M. Iyat pada saat itu belum tutup.

Pada malam itu juga dibicarakan tentang rencana unjuk rasa tersebut antara saya, Sekretaris DPD GRM Sumut dan Bapak R.M. Iyat. Disamping massa GRM juga akan hadir massa PDI dari Kota Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat, Belawan, Tanah Karo, dan Simalungun.

Melihat itu hati saya bergidik juga sebab, massa yang akan saya pimpin cukup besar. Tempat dimana akan dilaksanakan unjuk rasa itu didepan Kantor DPD PDI yang pro Kongres, Jln. Raden Saleh, yang 700 meter jaraknya dari Stasiun Kereta Api dan 300 meter jaraknya dari Lapangan Merdeka.

Setelah tiba hari deadline unjuk rasa tersebut, tepat pada tanggal 6 Juni 1996 itu, sesudah sembahyang Shubuh, sayapun segera berangkat ke tempat unjuk rasa mendahului massa agar nanti massa tidak kecarian siapa dan dimana korlapnya.

Akan tetapi sebelum berangkat isteri saya (almh.) menanyakan bagaimana makan anak-anak hari itu karena beras untuk ditanak sudah habis. Lalu, saya berpesan kepadanya untuk mengutang beras dahulu ke warung /kedai. Dia menggelengkan kepalanya mengatakan tak mungkin karena hutang di warung sudah terlalu banyak dan untuk menambah lagi mungkin tidak akan diberi.

Saya pun diam sejenak dan untuk membujuk hatinya saya minta kepadanya agar bersabar menantikan saya pulang dari unjuk rasa. Mukanya sedikit agak kusam, dan saya sendiri sudah dapat menebak bahwa seharian itu pasti anak-anak tidak akan makan.

Dengan rasa berat hati terpaksa juga saya meninggalkan rumah karena yang saya emban ini adalah amanah. Setiba di tempat saya lewati saja lokasi tempat unjuk rasa karena titik kumpul massa ada di Lapangan Merdeka. Duduklah saya dibawah sebuah pohon kayu besar yang ada di Lapangan Merdeka menunggu datangnya massa dari berbagai penjuru.

Massa GRM lebih dahulu tiba di Lapangan Merdeka dan saya merasa terkejut karena yang datang itu lebih banyak kaum perempuan dan diantaranya ada pula yang membawa bayinya sedang menetek. Ciut juga hati saya kalau nanti terjadi yang tidak diinginkan, bagaimana nanti melindungi mereka yang perempuan.

Saya merasa salut kepada mereka kaum perempuan yang mau ikut berunjuk rasa dan mungkin ini didorong oleh naluri mereka yang simpati kepada Ibu Megawati Soekarnoputri yang telah didzholimi oleh Penguasa.

Saya buat barisan massa GRM tersebut ditambah pula dengan beberapa orang massa dari PDI sendiri. Lalu, barisan tadi saya gerakkan menuju lokasi tempat unjuk rasa yaitu di depan Kantor PDI Pro Kongres. Pada waktu itu saya memakai baju seragam PDI lengkap dengan atributnya.

Saya juga mengetahui bahwa disekitar lokasi tempat unjuk rasa tersebut banyak juga berkelompok orang PDI tetapi mereka tidak berani merapat ke tempat lokasi unjuk rasa karena di depan Kantor PDI Pro Kongres itu berkeliaran orang-orang memakai seragam PDI tetapi rambutnya cepak-cepak.

Ketika barisan yang saya pimpin masuk ke tempat lokasi unjuk rasa orang-orang berseragam PDI dengan rambutnya cepak-cepak itu menyingkirkan diri. Mungkin mereka enggan berhadapan dengan para unjuk rasa yang kebanyakan dari kaum perempuan itu.

Setelah barisan diistirahatkan, saya berpidato di depan massa. Disitulah gerombolan orang-orang PDI tadi mulai mendekat dan memasuki tempat lokasi unjuk rasa tersebut. Sesudah itu mereka pula yang bergantian berorasi seakan merekalah yang menjadi pahlawannya di siang itu.

Sejam saya menunggu, massa yang dijanjikan akan datang dari beberapa daerah tidak juga kunjung datang. Saya sudah curiga, pasti mereka ini tertahan di batas kota dilarang masuk ke Kota Medan oleh aparat yang sudah berjaga disitu.

Massa PDI dari Tanah Karo tertahan di Pancurbatu, yang dari Langkat dan Binjai tertahan di perbatasan Megawati (antara Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang), yang datang dari arah Tanjung Morawa dan Lubuk Pakam tertahan di batas kota.

Sedangkan massa PDI yang datang dari Batang Kuis, Tembung, Percut Sei. Tuan tertahan didepan Kantor Polsek Percut Sei. Tuan. Massa PDI yang dari Belawan dihadang di Pulau Brayan. Boleh dikatakan banyak massa PDI yang tidak sampai ke lokasi tempat kita unjuk rasa.

Hanya yang selamat sampai ke lokasi tempat unjuk rasa adalah massa PDI dari Pematang Siantar dan Tebing Tinggi saja. Mereka bisa sampai ke Medan karena menumpang kereta api. Hadanglah kereta api itu kalau aparat-aparat itu berani.

Dari Setasiun ke lokasi tempat kita berunjuk rasa jaraknya tidak jauh jadi, mereka cukup berjalan kaki saja. Setiba di tempat mereka bergabung dengan barisan yang saya pimpin sendiri. Barulah disitu terlihat lebih ramai dan lebih meriah lagi.

Orasi pun dilanjutkan lagi, berganti-ganti mereka berpidato. Pada umumnya pidato mereka itu mengutuk pimpinan-pimpinan partai yang ingin mengadakan Kongres di Medan. Suasana semakin panas dengan semakin tingginya hari dan saya melihat sepertinya situasi pada waktu itu dipenuhi dengan perilaku yang aneh-aneh dari para pengunjuk rasa.

Diantara mereka itu ada yang jalan kesana kemari sambil merepet-merepet entah apa yang diomongkannya tak jelas. Ada pula yang berteriak-teriak dengan ucapan yang sarkastis, terdengar dari mulutnya kata-kata yang tak sedap didengar. Selain itu ada juga yang menari-nari seperti orang mabuk.

Saya melihat banyak diantara mereka yang stress karena kebencian mereka pada pemimpin-pemimpin partai yang ingin mengadakan Kongres di Medan itu. Melihat panorama seperti itu saya jadi menangis karena tidak tahan melihat mereka yang terpukul batinnya oleh ulah Fatimah Ahmad cs. demi kepentingan Soeharto.

Untunglah suasana itu tidak berjalan lama karena pada saat tengah hari datanglah rombongan membawa konsumsi. Saya pun bersyukur juga sebab, sejak berangkat dari rumah saya belum makan sedikitpun karena tidak ada nasi yang mau dimakan.

Puncak tragedi unjuk rasa pada tanggal 6 Juni 1996 itu setelah semua pengunjuk rasa selesai makan. Tiba-tiba saja Jln. Raden Saleh yang ada di depan Kantor PDI Pro Kongres, tempat lokasi unjuk rasa, mendadak sepi dari arus lalu lintas. Tak ada satu pun kenderaan yang lewat.

Kawan-kawan saya menduga pastilah datang pasukan aparat keamanan ABRI dan Polisi untuk menangkap kami semua pengunjuk rasa. Bapak Mayor (Psn) RM Iyat siap akan menghadapi aparat keamanan jika pengunjuk rasa semuanya ditangkap. Dalam hati saya, biarlah ABRI menghadapi ABRI.

Kalau pribadi saya, selaku pemimpin unjuk rasa, tidak sampai menduga demikian. Pasti yang bakal datang itu Pangdam I /Bukit Barisan(BB) beserta rombongannya karena dugaan mereka meleset. Tadinya mereka menduga unjuk rasa bakal gagal karena Penguasa berhasil menggagalkan tokoh-tokoh partai yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memimpin unjuk rasa.

Pangdam I/BB penasaran, mengapa unjuk rasa bisa juga berjalan lalu, siapa yang memimpinnya. Lewat intel Kodam yang berkeliaran disekitar lokasi tempat unjuk rasa tersebut Pangdam I/BB mendapat informasi bahwa sayalah yang memimpin unjuk rasa itu. Berarti nama saya diluar jangkauan pantauan mereka.

Memang, tak lama kemudian terdengarlah raungan sirened ari arah barat Jl. Raden Saleh. Saya dan kawan-kawan sudah siap menunggu kedatangan mereka.

Setelah iring-iringan mobil masuk dan berhenti di depan tempat kami berunjuk rasa maka disitulah terlihat siapa saja yang keluar dari mobil-mobil mereka. Yang paling di depan sekali berjalan adalah Mayjen. Sedaryanto, Pangdam I/BB lalu, diikuti pula oleh Kapolda Sumut, Kapolresta, Dandim, dan juga Pejabat-Pejabat Sipil lainnya yang tidak saya kenal.

Begitu sampai ditengah-tengah para pengunjuk rasa lalu, Mayjen. Sedaryanto, Pangdam I/BB menanyakan dengan garangnya : "Mana yang Noerwahid itu ? Mana yang Noerwahid itu ?"

Berarti Pangdam I/BB sudah tahu siapa yang menjadi pemimpin unjuk rasa lewat intel-intelnya. Saya tidak sembunyi lalu, mendatangi beliau seraya mengatakan kepadanya : "Sayalah yang Noerwahid itu, Pak ! Ada apa kira-kira, Pak ?"

Akhirnya terjadilah dialog panas antara saya dengannya. Saya katakan kepadanya unjuk rasa ini tidak ada larangan sebelumnya dan saya dipercayakan memimpin unjuk rasa ini setelah mendapat kewenangan dari pimpinan partai.

Hampir dua puluh menit lebih dialog itu terjadi dan kesannya dia merasa kesal dengan unjuk rasa yang saya pimpin itu. Lantas, dia mengancam akan menangkap para pengunjuk rasa jika tidak segera bubar. Tetapi, dia pandai pula membujuk kami para pengunjuk rasa untuk segera bubar.

"Kalau saya bagi-bagi duit, mau kalian bubar semuanya ?",tanya Pangdam I/BB itu kepada para pengunjuk rasa. Tentu saja jawabannya "mau". Duitlah punya bicara ! Siapa yang tak mau duit ?

Memang, Mayjen. Sedaryanto itu  akhirnya  membagi-bagikan duit Rp. 20.000,- untuk satu orang. Entah berapa puluh juta rupiah uang dibagi-bagikan itu saya tak tahu tetapi, hampir semuanya mendapat. Ada juga yang tidak mendapat karena uangnya habis.

Sewaktu dia membagi-bagikan duit itu Pangdam I/BB itu melirik juga kepada saya, mengapa saya tidak ikut-ikutan meminta duit. Saya sendiri tidak mau meminta duit kepadanya, saya mempunyai harga diri padahal, dirumah kini sedang tak ada beras untuk dimasak.

Setelah membagi-bagikan duit kemudian Pangdam I/BB beserta rombongannya meninggalkan tempat kami berunjuk rasa kembali ke posnya masing-masing. Saya sedikit merasa lega dengan kepulangan rombongan para Penguasa Sumut itu. Berarti tak ada lagi shock yang harus dihadapi.

Jam 15.00 WIB semua pengunjuk rasa membubarkan diri setelah saya perintah untuk pulang ke rumah masing-masing. Rombongan dari Tebing Tinggi dan juga dari Pematang Siantar segera berangkat ke Stasiun Kereta Api karena jam 16.00 WIB kereta api akan berangkat.

Saya sendiri belum lagi beranjak dari lokasi tempat unjuk rasa untuk memastikan semuanya sudah pulang. Terakhir barulah saya bersiap-siap untuk pulang dan saat itu jam sudah menunjukkan 15.30 WIB. Tiba-tiba saya melihat ada dua renteng sisa makanan yang tak terbagikan lalu, saya ambil nasi bungkus tadi.

Satu renteng itu ada lima bungkus nasi jadi, dua renteng itu ada sepuluh bungkus nasi semuanya. Bisalah untuk makan anak-anak nanti di rumah yang mungkin saja seharian penuh mereka belum makan.

Memang, benarlah ! Setelah saya sampai di rumah semua anak-anak mengadu belum makan. Lalu, saya berikan nasi yang saya bawa itu kepada mereka. Bukan main lahapnya mereka makan karena seharian tak makan itu.

Disaat itu saya menangis, begini inilah pengorbanan yang saya berikan untuk suatu perjuangan. Memimpin unjuk rasa dalam keadaan lapar, anak-anak di rumah pun belum makan namun, amanah tetap saya jalankan.

Tetapi, sesudah itu apa yang saya bisa dapatkan dari PDI Perjuangan atas segala  perjuangan dan pengorbanan yang saya berikan. Tidak ada !

Malah, saya dilupakan oleh PDI Perjuangan. Sudah 21 (duapuluh satu) tahun lamanya PDI Perjuangan berkiprah tidak satu pun jabatan atau kedudukan yang saya emban di dalam partai. Padahal, kalau dipikir-pikir sayalah yang menjadi bidannya secara tidak langsung atas lahirnya PDI Perjuangan tersebut.

Kami yang ada di Medanlah yang lebih dahulu melakukan perlawanan baru disusul oleh Jakarta yang mengadakan unjuk rasa pada tanggal 21 Juni 1996, bertepatan dengan hari wafatnya Bung Karno.

Kini banyak orang-orang pendatang baru, pahlawan-pahlawan kesiangan, yang menguasai partai. Sewaktu kami berjuang dahulu dimana mereka ? Sudah aman baru ramai-ramai masuk partai, selagi masih gawat semuanya menghindar.

Dan, tulisan ini sekaligus untuk dipersembahkan kepada Partai PDI-Perjuangan yang berulang tahun ke 45 (10 Januari 1973 -- 10 Januari 2018).

Semoga cita-cita PDI-Perjuangan dalam memajukan dan membela rakyat Indonesia semakin meningkat dan lebih solid. 

Merdeka!! ***

Ilustrasi (uqes.com.au)
Ilustrasi (uqes.com.au)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun