Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Bagian Kedua] Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan Tahun 1949

27 November 2017   23:29 Diperbarui: 30 November 2017   00:27 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beginilah keadaan jalan setapak di Gng. Siatubang dari dahulu sampai sekarang. Kondisi jalan seperti itulah yang membuat payah ibu saya ketika mendaki gunung tewrsebut. Foto ini diambil thn 1995 (dok. pribadi)

(Gerilya 1949 dan pengalaman dimasa itu- artikel terdahulu).

Jangankan listrik, untuk lampu teplok saja tidak punya sebab, bagaimana mau pakai lampu teplok kalau minyak tanah saja tidak ada orang yang menjualnya di hutan itu. Tinggal di hutan itu sudah pasti serba primitifsemuanya. 

Lalu, sebagai penggantinya terpaksa digunakan suluhyang terbuat dari getah rambung yang memang di beberapa tempat banyak tumbuh pohon karet yang ditanam warga setempat.

Getah rambung atau getah karet itu, selagi masih cair, dimasukkan ke dalam bambu yang ukurannya tidak terlalu besar. Lalu, bambu yang berisi cairan getah karet tersebut dijemur di panas matahari atau dikeringkan di para-para yag ada di atas tungku dapur. Seminggu saja getah karet tadi sudah membeku dan setelah bambunya dibuang jadilah lenteragetah rambung yang siap pakai.

Akan tetapi setelah bangun tidur dipagi hari kita harus cepat-cepat pergi ke sumur atau ke sungai untuk cuci muka sebab, muka kita hitam terkena jelagalampu getah karet tadi. Mandi di pagi hari tidak sanggup sebab, airnya terasa dingin. Tengah harilah baru berani mandi karena airnya sudah mulai terasa hangat.

Teh tidak ada dimasa itu. Kalau kopi masih bisa didapatkan asalkan saja mau memetik biji-biji kopi yang mudah kita jumpai di kebun-kebun kopi milik warga. Pemiliknya rela biji-biji kopinya diambil. Menggoreng dan menumbuknya menjadi pekerjaan rutin. 

Kalau masa kini kopi luwak sudah populermaka dahulu hampir setiap hari kami minum kopi luwak itu sebab, di kebun-kebun kopi itu berserakan kotoran luwak tersebut yang banyak mengandung biji kopi. Tinggal kita membersihkannya serta memasaknya dan selanjutnya menumbuknya di dalam lesung. Jadi, deh !

Persoalannya sekarang bagaimana meminum kopi tersebut sedangkan gula pasir tidak ada pada masa itu. Sebagai gantinya digunakanlah gula arenyang memang pohon aren banyak tumbuh disekitar kampung-kampung itu.

Gula aren itu diiris halus-halus lalu, dimasukkan kedalam air kopi. Atau, gula aren itu dipatahkan dengan gigi lalu dikunyah-kunyah dan setelah halus barulah air kopinya diminum. Nikmatnya luar biasa dan cara minum kopi seperti itu kami sebut minum kopi ala Sipiongot, suatu nama kampung yang kini menjadi ibu kota Kec. Dolok.

Jika ingin minum teh kita tinggal memetik daun kopi yang belum tua benar lalu, daun kopi tadi di salai di atas para-para yang ada di dapur beberapa hari lamanya. Setelah itu daun kopi tersebut diseduh dengan air panas barulah diminum dengan gula aren.

Sabun cuci jangan harap ada di kampung-kampung itu dan kalau mau mencuci terpaksalah kita memakai daun serai atau daun alang-alang sebagai pengganti sabun. Pakaian bersih juga dibuatnya karena daun-daun itu mengandung getah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun