Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan Tahun 1949

24 November 2017   22:38 Diperbarui: 1 Desember 2017   20:08 6280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agresi Militer Belanda ke dua (sumber; history1978.wordpress.com)

Saat ini, setiap tiba tanggal 19 Desember diperingati orang sebagai Hari Bela Negara. Tetapi, di dalam risalah ini kita belum lagi membuka kesempatan mendiskusikan tentang "Bela Negara". Hanya kita perlu bertanya, mengapa tanggal tersebut dijadikan sebagai patokan untuk peringatan tadi, mengapa tidak tanggal dan bulan lainnya. Tentu saja ada alasannya!

Alasannya karena pada tanggal itu Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua, tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948. Maka tanggal penyerbuan itulah dijadikan simbol Bela Negara karena Yogyakarta, yang pada waktu itu menjadi ibu kota RI, diserbu oleh Belanda.

Belanda sendiri telah melanggar Perjanjian Renville yang telah disepakati dan ditandatangani di atas kapal perang AS "Renville" pada tanggal 17 Januari 1948 setelah sebelumnya tanggal 13 Januari 1948 Komisi Tiga Negara (KTN)yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia melakukan perundingan lebih dahulu dengan pihak "delegasi" Indonesia di Kaliurang, utara Yogyakarta.

Akibat serangan Belanda pada Agresi Militernya yang ke dua itu pihak Republik Indonesia terpaksa bergerilya karena Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta beserta pemimpin-pemimpin lainnya ditangkap Belanda dan dibuang ke Pulau Bangka, Sumatera Selatan.

Semua anggota TNI dan sebagian aparat pemerintahan sipil yang ada di Sumatera terpaksa bergerilya dan melakukan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera. Aparat pemerintahan sipil tidak semuanya bergerilya, sebagian dari mereka memilih tetap tinggal ditempat dan di antaranya ada yang mau bekerja sama dengan Belanda.

Yang tidak mau ikut bergerilya itu sudah pasti takut kalau nanti akan sengsara. Bagaimana di hutan bisa dapat makan dan di mana harus tinggal di sana. Tetapi, ayah saya, Abd. Wahid Er.,yang pada waktu itu selaku Akting Residen Sumatera Timur, dengan seluruh anggota keluarganya dibawa masuk hutan di hulu Sei Bilah, Kabupaten Tapanuli Selatan dan bergerilya di sana.

Hulu Sei Bilah di Tapanuli Selatan. Foto diambil thn 1995 saat penulis napak tilas kembali di sana. (dok. pribadi)
Hulu Sei Bilah di Tapanuli Selatan. Foto diambil thn 1995 saat penulis napak tilas kembali di sana. (dok. pribadi)
Sepuluh bulan lamanya kami bergerilya di hutan-hutan hulu Sei. Bilah tersebut, yang pada waktu itu saya sudah memasuki usia 9 (sembilan) tahun. Jangankan sekolah, mencari makan pun sangat susah.

Setelah Penyerahan Kedaulatan dan kembali ke Kota Medan, dalam usia 10 tahun barulah di situ saya kembali bersekolah setelah empat tahun lamanya tidak pernah mengecap pendidikan di sekolah karena terus-menerus bergerilya saja dari sejak Agresi Militer Belanda yang pertama di tahun 1947.

Memang, tidak seluruh Sei Bilah itu berhutan lebat karena disana-sini masih ada kita jumpai kampung-kampung sekali pun tidak besar. Rata-rata rumah penduduk di kampung-kampung sekitar sepuluh unit banyaknya. Bahkan, ada yang kurang dari itu.

Wajarlah setiap kampung itu suasananya sepi, terlebih lagi kalau penduduknya pergi berladang ke tempat yang jauh maka kampung tadi ditinggal begitu saja tanpa penghuni. Sangat sepi sekali seperti kampung mati saja layaknya.

Begitulah kampung-kampung yang kami dapati selama bergerilya di kawasan itu. Bagi kami tak aneh lagi karena banyak kampung yang sudah kami datangi dan tinggal di sana beberapa hari lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun