Di antara kabut bukit dan bau hujan di musim wisuda, berdirilah sebuah institusi bernama IAIN Palopo. jika boleh jujur, dia optimistis membungkus wajahnya dengan slogan: "Smart and Green Campus".
Slogan ini, bagai bunga plastik di ruang tamu. Wangi tidak, segar pun tidak, tapi sedap dipandang saat akreditasi.
Lama sebelum embel-embel BLU datang menyergap, kampus ini sudah lebih dulu membangun identitas digital dan kehijauan setidaknya di atas spanduk. "Smart" artinya semua serba online, meskipun server sering ngambek seperti mahasiswa habis UTS. "Green" berarti ada pohon-pohon dan rumput  yang dipotong rapi. Mahasiswa masih bingung, ini penghijauan atau pemolesan?
Tapi sudahlah. Slogan boleh ideal, realitas tetap kapital. Maka datanglah zaman baru, IAIN Palopo berubah status menjadi BLU (Badan Layanan Umum). Sebuah istilah yang kalau disingkat lebih lanjut artinya kampus harus bisa cari uang sendiri. Negara hanya kasih pancing, sisanya kampus harus mancing sendiri... di kolam yang makin sempit.
Para pejabat kampus tersenyum dalam pelantikan, lalu mulai serius saat menyusun strategi pendapatan non-akademik. Mahasiswa? Mereka mulai dihitung bukan hanya berdasarkan NIM, tapi juga potensi konsumtif berapa kali fotokopi, berapa kali isi KRS, dan berapa seminar yang bisa mereka hadiri berbayar.
Slogan smart and green pun makin terdengar seperti hymne nostalgia dari masa lalu yang idealis. Kini, kampus lebih smart dalam menaikkan tarif dan green dalam mencetak invoice.
Namun BLU tak hanya membawa semangat dagang. Entah bagaimana, memicu epidemi baru di kalangan pejabat kampus, virus paranoid jabatan. Gejalanya sama dari Sabang sampai Merauke. Takut dikritik, sensi terhadap suara mahasiswa, dan alergi terhadap demonstrasi.
Salah satu gejalanya paling menonjol adalah melarang mahasiswa berdemonstrasi dengan membakar ban. Alasannya macam-macam. Dari polusi, estetika, sampai keamanan kampus. Padahal, semua tahu, pembakaran ban dalam demo mahasiswa adalah tradisi peradaban. Ia bukan sekadar simbol marah, tapi juga simbol bahwa akal sehat telah dibakar habis oleh sistem.
Kini, para mahasiswa yang hendak menyuarakan keresahan harus pintar-pintar berdiplomasi. Demonstrasi harus sopan, pakai dress code, daftar ke protokol, bahkan kalau bisa bukan orasi, tapi resital puisi. Apakah ini kampus atau festival sastra?
Kampus yang dahulu jadi pelabuhan gagasan kini berubah menjadi dermaga transaksi. Mahasiswa tidak lagi bertanya, "apa yang bisa saya pelajari?" tapi, "berapa biayanya?" Dosen tidak hanya sibuk mengajar, tapi juga menyusun proposal dana dan laporan output kinerja BLU.