Tulisan ini merupakan tanggapan kritis terhadap artikel Konseling Online: Sebuah Pendekatan Teknologi Dalam Pelayanan Konseling karya Zadrian Ardi dkk., yang membahas tentang potensi dan perkembangan layanan konseling berbasis teknologi.
PendahuluanÂ
Belakangan ini, konseling online jadi topik hangat yang sering dibicarakan. Banyak orang menganggapnya sebagai terobosan layanan psikologis yang bisa diakses dari mana saja lewat email, chat, atau video call. Dalam artikelnya, Zadrian Ardi dkk. menaruh harapan besar pada model ini. Mereka melihat konseling online sebagai alternatif modern yang mampu menembus batas jarak, mengatasi hambatan mobilitas, dan memudahkan klien yang selama ini kesulitan datang ke layanan tatap muka.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah membuka peluang besar dalam memperluas layanan psikologis. Bagi orang yang tinggal di daerah terpencil, penyandang disabilitas, atau mereka yang sibuk bekerja, konseling online menawarkan kemudahan yang sebelumnya nyaris mustahil. Bahkan di masa pandemi, layanan daring menjadi penyelamat bagi banyak orang yang butuh dukungan mental namun terhalang pembatasan sosial.
Namun, di balik artikel yang di tulis oleh Zadriani dkk, sejumlah pertanyaan penting yang tidak boleh kita abaikan. Apakah konseling online benar-benar bisa menggantikan keintiman pertemuan langsung? Apakah teknologi cukup untuk menjawab seluruh tantangan emosional klien, atau justru menghadirkan masalah baru seperti risiko kebocoran data, kesalahpahaman komunikasi, dan rasa keterasingan yang lebih dalam?
Isi PembahasanÂ
Salah satu hal yang patut kita pertanyakan dari artikel Zadrian Ardi dkk. adalah klaim mereka soal efektivitas konseling online yang disebut telah "membantu banyak klien" menghadapi masalah seperti kecemasan, depresi, atau konflik kerja. Sekilas terdengar meyakinkan---siapa yang tidak ingin solusi praktis dan mudah diakses untuk masalah psikologis? Namun benarkah layanan daring ini benar-benar bisa diandalkan untuk semua orang? Bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut ternyata masih terbatas, apalagi untuk kondisi yang lebih kompleks. Memang, beberapa studi menunjukkan konseling online bisa cukup efektif untuk masalah ringan hingga sedang. Tapi bagaimana dengan gangguan yang lebih berat seperti borderline personality disorder atau pikiran bunuh diri? Kasus-kasus ini sering kali membutuhkan pengawasan ketat, respons cepat, dan kehadiran langsung yang tak bisa sepenuhnya digantikan oleh layar. Hal-hal semacam ini layak kita pikirkan sebelum terlalu percaya pada janji praktis layanan daring.Selain itu, komunikasi lewat teks atau video call memiliki keterbatasan serius. Bahasa tubuh, nada suara, atau keheningan yang bermakna unsur-unsur penting untuk membaca kondisi emosional klien secara utuh---sering kali hilang atau sulit ditangkap lewat layar.
Di sisi lain, aspek etika dan keamanan data juga menjadi masalah yang lebih serius daripada sekadar persoalan sandi atau kata kunci. Penulis artikel memang menyinggung soal kerahasiaan data, tetapi pembahasannya terkesan hanya "sekilas lalu" tanpa mengupas kerumitan sebenarnya. Misalnya, ada data lama yang menunjukkan hanya 27% layanan konseling online menggunakan software terenkripsi. Ini menunjukkan risiko kebocoran data pribadi sangat nyata, yang bisa menimbulkan stigma, pelanggaran privasi, bahkan pemerasan jika rahasia klien jatuh ke tangan yang salah. Selain itu, layanan lintas negara menimbulkan persoalan hukum yang tidak sederhana: negara mana yang aturannya berlaku, dan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran etik? Tantangan-tantangan semacam ini menuntut pembaruan aturan dan kode etik yang lebih jelas dan relevan dengan perkembangan zaman. Sayangnya, artikel Zadrian Ardi dkk. belum mengarahkan diskusi secara mendalam ke persoalan ini.
Terakhir, ada risiko hilangnya kualitas relasi yang hangat dan empatik dalam konseling online. Salah satu kekuatan utama konseling tatap muka adalah terciptanya hubungan yang dekat dan menenangkan. Kehadiran fisik, kontak mata, suasana ruang yang tenang, hingga cara bicara yang pelan---semua itu berkontribusi membangun rasa aman bagi klien. Dalam konseling online, unsur-unsur ini berpotensi hilang. Klien memang mungkin merasa lebih nyaman untuk curhat lewat teks karena tidak malu, tetapi juga bisa merasa lebih jauh dan asing. Bayangkan jika diskusi masalah berat tiba-tiba terganggu oleh sinyal yang putus-putus, atau jika balasan konselor terlalu singkat sehingga terkesan dingin. Hal ini tentu dapat menurunkan rasa nyaman dan kepercayaan. Apalagi dalam budaya kita yang cenderung hangat dan mengutamakan hubungan personal, kehadiran fisik bukan sekadar formalitas melainkan bagian penting dalam membangun kepercayaan yang mendalam antara konselor dan klien.
Penutup
Konseling online memang menawarkan banyak keunggulan: akses yang lebih luas, biaya yang bisa lebih terjangkau, dan kemudahan bagi mereka yang sulit hadir langsung. Tak bisa dipungkiri, ini adalah salah satu bentuk inovasi penting dalam layanan kesehatan mental. Namun, sebagaimana dibahas di atas, kita tidak boleh menutup mata pada tantangan yang juga besar.
Efektivitasnya belum sepenuhnya setara dengan konseling tatap muka, terutama untuk masalah berat. Isu etika dan keamanan data juga jauh lebih serius daripada sekadar soal sandi atau enkripsi. Bahkan aspek relasi yang hangat dan mendalam, yang sangat penting dalam proses konseling, bisa terancam hilang dalam komunikasi daring.
Karena itu, daripada hanya memuja kemudahan teknologinya, kita perlu bersikap lebih kritis dan bijak. Konseling online bukan pengganti mutlak layanan tatap muka, melainkan pelengkap yang harus diatur dengan cermat. Pengembangan pedoman etika, peningkatan keamanan data, serta pelatihan konselor agar peka terhadap keterbatasan medium daring adalah langkah-langkah penting ke depan. Dengan begitu, kita bisa memastikan teknologi benar-benar menjadi alat yang memanusiakan---bukan justru menjauhkan manusia dari keintiman dan empati yang mereka butuhkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI