Jaman dulu, waktu masih di SD, orang tua saya yang membantu mengerjakan PR saya, tidak pernah memberikan jawaban secara langsung. Tetapi, mereka menjelaskan konsepnya, dan membiarkan saya berpikir sendiri sesuai konsep yang sudah saya mengerti, untuk menemukan jawabannya. Dan ini membuat saya tidak mudah percaya begitu saja akan sesuatu. Saya harus benar-benar mengerti dulu, baru dapat menerima dan setuju tentang sesuatu.
Memang, karakter seperti itu tidak menjadikan nilai saya tinggi sehingga masuk rangking 10 besar. Tetapi saya puas dengan hasil kerja saya. Dan hal itu juga membuat saya belajar. Karena saya akan bertanya-tanya, apa yang salah hingga saya hanya mendapatkan nilai sekian? Untungnya saya tidak pernah tinggal kelas karena sikap seperti itu.
Kita tidak pernah tahu tantangan apa yang akan dihadapi di masa datang oleh generasi penerus. Sama seperti kita pun dulu tidak tahu ada apa di masa depan. Hanya orang-orang yang open minded ditunjang kemampuan berpikir dan menganalisa dengan baik, yang dapat tetap up to date di setiap jaman. Orang-orang yang tidak takut keluar dari comfort zone untuk bisa beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Hidup terus berubah, kita tidak mungkin diam di tempat tanpa ikut berubah. Karena jika demikian, maka kita akan tertinggal dan menjadi jiwa yang "tua" karena tidak lagi mengikuti perkembangan jaman.
Maka, sebaiknya dari sejak di sekolah dasar, anak-anak juga dibimbing untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka, tidak anti dengan perubahan, tidak juga anti dengan perbedaan.
Pola pikir yang terbuka, saya rasa sangat penting agar seseorang tidak mudah termakan hoax.
Suatu saat saya kembali terhubung dengan seorang teman lama jaman kuliah dulu. Dari sejak pertama kali kenal, teman ini memang sudah terlihat religius. Saya sendiri tidak memilih-milih teman, namun cukup kuat dengan pendirian sendiri.
Agak kaget ketika teman ini bercerita tentang salah seorang keluarganya, yang katanya kalau dilepas sekolah ke Singapura, maka pondasi agamanya dikhawatirkan terganggu. Karena dalam pengetahuannya Singapura adalah negara Non Muslim yang lingkungannya tidak mendukung umat Muslim. Sejujurnya saya agak kaget, karena setahu saya tidak seperti itu. Saya sendiri pernah tinggal di sana cukup lama. Ketika saya menyanggah opininya dengan memberikan contoh pengalaman pribadi, di mana saya yang Melayu, karena sering di "pukul rata" bahwa Melayu identik dengan Muslim, maka sering juga diperlakukan seperti orang-orang yang beragama Islam. Teman ini kemudian hanya berkata, "Berarti informasi yang saya dapat bohong dong?!"
Entahlah, namun saya menyayangkan di era mudah mengakses informasi seperti sekarang ini, dan untuk orang yang tergolong intelek seperti dia, sejak lahir hidup di kota besar pula, ternyata tidak dapat memilah dan mencerna informasi dengan benar.
Maka itu, selain merangsang berpikir, berinovasi, dan mengungkapkan hasil pemikiran dalam diskusi lisan dan juga dalam penulisan laporan, mendidik murid untuk menjadi seorang yang open minded pun saya rasa dapat menjadi bekal generasi sekolah jaman now untuk siap hadapi tantangan abad 21.
Untuk teknisnya, saya kira guru-guru yang sudah lebih berpengalaman akan dapat menemukan ide.
Banyak mata pelajaran dapat disampaikan dengan cara yang lebih menarik untuk membuat anak menjadi gemar belajar.
Dalam pengalaman saya dulu, pelajaran Matematika dapat disampaikan dalam bentuk yang lebih menarik. Bisa sambil bermain, berkarya, visualisasi dengan alat-alat bantu, dll. Sementara pelajaran bahasa Inggris dapat dilakukan dengan bermain, berdiskusi, atau bentuk-bentuk percakan lain. Di SMA dulu, guru bahasa Inggris saya mengajak kami bermain kwartet dalam bahasa Inggris. Ini cukup menarik daripada sekedar belajar teori.