Panen air hujan...sejujurnya saya baru menyimak sekarang-sekarang ini tentang hal itu. Namun pada prakteknya, kami sudah melakukannya dikala air PDAM tidak mengalir berhari-hari. Terpaksa!
Minimal, air itu dapat diendapkan dulu agar kotorannya tidak terbawa ketika airnya diambil. Lumayan, bisa dipakai untuk keperluan di toilet dan bersih-bersih. Jika terpaksa, kadang dipakai mandi juga.
Kondisi tidak ada air, sudah pernah saya alami juga ketika masih sekolah di SMP dulu. Waktu itu, kalau tidak salah musim kemarau panjang, sehingga air PDAM lebih sering tidak mengalir. Jadi kami meminta air dari tetangga yang memiliki sumur air tanah (sumur jaman dulu), atau pompa air tanah yang airnya masih ada. Kami mengambil air dengan ember. Setiap anak kebagian tugas mengangkut air. Untung rumah tetangga tidak terlalu jauh. Tapi lumayanlah, angkut air beberapa kali bolak balik. Pake nimba pula atau pompa. Kalau sekarang, istilah di gym adalah latihan beban.
Kadang kami menumpang mandi di rumah tetangga tersebut. Padahal kami tinggal di kota, bukan di desa pegunungan yang konon katanya susah air.
Untungnya, jaman sekarang sudah ada air mineral gallon untuk minum. Harganya pun tidak terlalu mahal.
Tetapi, untuk keperluan lainnya, rasanya terlalu mahal jika harus menggunakan air gallon ketika air tidak mengalir. Pernah sih, terpaksa membeli air gallon isi ulang yang lebih murah untuk mandi, karena beberapa hari air tidak mengalir dan air hujan pun tidak ada.
Jika sekarang Indonesia dikatakan mengalami krisis air bersih, maka ada baiknya pemerintah mulai mengedukasi warganya untuk melakukan penampungan air hujan, untuk dipanen. Air hujan itu nantinya dapat dipakai untuk keperluan-keperluan rumah tangga seperti untuk menyiram toilet, membersihkan kamar mandi, menyiram tanaman, dll.
Warga perlu diedukasi bagaimana pengolahannya agar air hujan itu layak pakai untuk mandi, mencuci piring, atau mungkin untuk air minum.
Saya sendiri, terpikir untuk menampung air hujan, membuat instalasinya agar air hujan itu dapat dialirkan melalui pipa, untuk disalurkan ke dalam rumah, dan kemudian disambungkan dengan filter air, untuk membuat air itu menjadi layak pakai dan layak minum tanpa dimasak.
Kebetulan di rumah kami ada filter air tiga tabung, yang menurut fungsinya, untuk menyaring air hingga air itu layak minum tanpa dimasak.
Itu adalah pemikiran orang awam. Pertanyaannya adalah, berapa banyak air dapat ditampung, dan bisa untuk keperluan berapa lama? Karena, saat ini cuaca juga tidak menentu. Yang harusnya musim kemarau, malah hujan melulu. Yang seharusnya musim hujan, malah jarang hujan.Â
Jika persediaan air habis, dan hujan tidak juga datang, apa yang harus dilakukan?
Adakah cara menampung air hujan, agar air itu tersimpan di bawah tanah dalam jumlah banyak, sehingga dapat menjadi cadangan air di musim kemarau? Haruskah membangun sumur seperti sumur jaman dulu yang terbuka dan cara mengambil airnya menggunakan timba?
Meski sekarang jaman Internet dimana informasi semacam ini dapat diakses dengan merdeka, semoga setidaknya ada usaha dari pemerintah untuk mengedukasi masyarakat mengenai hal ini. Agar jika harus membangun sesuatu untuk menampung air hujan, tidak akan sembarangan. Jangan sampai ada jual beli lahan milik publik untuk kepentingan penampungan air hujan keluarga. Jangan sampai pula masing-masing membuat bak air penampung air hujan seenaknya tanpa mempertimbangkan tetangga. Misalnya, baknya menutupi jendela tetangga. Mengingat di kota-kota besar, masih banyak perumahan-perumahan yang tidak teratur dan posisinya saling berdempetan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI