Rani masih tercengang. Tak mampu berkata-kata.
Ia baru saja membuat seseorang hampir cacat karena kehilangan beberapa jari. Dengan perasaan takut sekaligus cemas Rani duduk di ruang tunggu klinik. Ia berharap laki-laki itu baik-baik saja. Ia berharap tidak ada jari yang harus diamputasi karenanya.Â
"Keluarga Pak Ardi!", tiba-tiba suara suster mengejutkannya. Setelah menyelesaikan administrasi di klinik, Rani segera menuju UGD tempat laki-laki itu ditangani. Disana sudah berdiri Pak Khairudin Setiawan. Seorang Kolonel Angkatan Laut dengan perawakan tinggi, besar dan berkumis lebat. Seseorang yang dipanggil Pak Wawan oleh laki-laki itu. Seseorang yang biasa ia panggil Ayah dirumah.
"Mm, yah.. g-gimana keadaane Mas Ardi?", tanya Rani terbata.
Ayahnya memberi kode untuk mengajaknya keluar kamar. Sementara laki-laki yang bernama Ardi itu terbaring lemas dengan kondisi jari dibalut perban atau semacamnya.Â
"Untung jarinya nggak putus, hanya retak dan masih bisa ditangani", ucap sang Ayah mengawali pembicaraan. Rani yang masih merasa bersalah hanya bisa tertunduk.
"Lagian Ayah ngapain nyuruh ajudan Ayah masuk bagasi Rani?", tanya Rani kesal.
"Terus Ayah gimana mau ngawasin kamu? lagian kamu ngapain pake kabur-kabur segala dari rumah? Mamamu khawatir. Kamu itu anak perempuan satu-satunya. Yang manut gitu lho Nduk..". Rani hanya menghela nafas panjang.
"Sekarang yang penting kamu jagain Ardi sampai keluar dari klinik", lanjut ayahnya.
"Lho kok jadi Rani sekarang yang jagain ajudan Ayah?! Rani kan ke Malang mau liburan yah, mau ke pantai, mau seneng-seneng.. dan teman-teman Rani besok datang..", jawab Rani semakin kesal.
"Oke, kamu boleh liburan.. tapi Ardi harus stand by di Malang".Â