Mohon tunggu...
Vivi Vetrianti M
Vivi Vetrianti M Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Hey kompasianer! Aku mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang dalam misi. Di Kompasiana jadi tempat aku untuk mengasah ide, menguji angle tulisan, dan yang terpenting mencari feedback dari pembaca. Yuk saling belajar!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Kereta Berhenti - Kota Cahaya, Lumire

12 Oktober 2025   04:44 Diperbarui: 12 Oktober 2025   04:53 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak remaja, Melody adalah sesosok wanita yang memiliki hidup dan mimpi yang ia atur dengan rapih, tertera jelas di Tiket Kereta Ekspres menuju Lumire, Sebuah kota Cahaya di ujung rel yang semua orang dambakan. Ia telah mengorbankan tidur, pertemanan, dan bahkan ia mengabaikan semua hal yang menjadi favoritnya demi duduk di gerbong terdepan. Lumire, bagi Melody, adalah kesuksesan yang definitif, karier gemilang, aset tak bergerak, dan pengakuan publik. Ia menghafal jadwal keberangkatan, memastikan IPK-nya selalu sesuai dengan frekuensi track Kereta Ekspres.

Namun, realita tidak pernah peduli pada jadwal yang kaku. Tepat tengah malam di bulan ketiga perjalanannya, Kereta Ekspres itu mendadak mengerem, berdecit tajam, dan mati total. Pemandangan di luar jendela yang tadinya berkelebat penuh janji, kini menjadi gelap. Melody dipaksa turun di sebuah pemberhentian kecil yang remang-remang, Stasiun Senja.

Stasiun itu terasa dingin, lembap, dan asing. Ia bukan Stasiun Utama yang megah, melainkan terminal terpencil tempat nasib-nasib tak terduga berdiam. Di bangku-bangku usang, beberapa penumpang tertidur lelap---mereka yang memilih Lying Flat, menyerah pada kelelahan jadwal. Sementara yang lain berteriak frustrasi, mencoba menghubungi operator stasiun yang tampaknya tuli. Di rel jalur sebelah, Kereta-Kereta Malam terus melintas tanpa henti. Mereka adalah para penumpang seangkatan Melody, yang beruntung tidak ikut mogok. Melody bisa melihat pantulan cahaya kilat dari ponsel mereka---foto-foto feeds Lumire, update liburan, story promosi jabatan. Setiap kilatan cahaya itu menusuk, seperti bisikan berulang dari pengeras suara stasiun yang rusak,

"Mengapa kau turun di sini, Melody? Bukankah kau seharusnya sudah tiba di Lumire sekarang?" 

Rasa malu dan cemas bercampur aduk, merobek keyakinannya selama bertahun-tahun.

Di tengah kegelapan, Melody melihat siluet tua yang sedang sibuk menyirami sesuatu di celah-celah rel. Itu adalah Penjaga Malam Stasiun Senja.

"Kereta Ekspresmu mogok?" tanyanya tanpa menoleh, suaranya tenang.

Melody mengangguk lemah. "Aku sudah menata segalanya. Rencanaku sempurna. Tapi... jalurnya seolah tak mau menerimaku."

Penjaga Malam itu menunjuk pada tanaman kecil yang baru disiramnya---bunga liar yang tumbuh di retakan beton.

"Banyak orang yang terlalu fokus pada Kota Cahaya, sampai mereka lupa melihat bunga yang bisa tumbuh di tempat tergelap. Ada yang harus turun di Stasiun Senja agar bisa melihatnya."

Ia kemudian menunjuk ke jalur rel kecil yang nyaris tak terlihat, meliuk ke atas bukit di belakang stasiun. 

"Jalur menuju Lumire tidak hanya satu, Nak. Itu Kereta Ekspres, bukan satu-satunya takdir. Ada juga jalur ini. Gelap, tidak ada jadwal pasti, tapi mengarah ke Bukit Bintang. Dari sana, kau masih bisa melihat Lumire, tapi dengan caramu sendiri."

Melody menatap tiket Kereta Ekspresnya yang kini terasa berat dan tak berarti. Ia sadar, ketidakpastian (Kereta mogok) adalah satu-satunya hal yang nyata. Ia bisa menunggu, panik, dan terus membandingkan diri. Atau, ia bisa memilih rute baru.

Ia tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu ke mana arah tujuannya, dan anehnya, itu terasa melegakan. Dengan tekad dan keyakinan nya, Melody merobek Tiket Kereta Ekspres, meninggalkan bangku terminal, dan mulai mendaki jalur kecil yang gelap, menuju cahaya kecil yang ia yakini akan menyala.

Di Bukit Bintang, ia menyadari bahwa cahaya paling terang adalah cahaya yang ia ciptakan sendiri, bukan pantulan cahaya dari Kota Cahaya (Lumire). Ia tetap bisa melihat Kota Cahaya, tapi dari sudut pandang yang berbeda, tanpa tekanan harus berada di dalamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun