Aku baru saja selesai sholat. Dan aku menangis lagi. Bukan karena sedih, tapi karena aku tak tahu lagi bagaimana harus mengungkapkan rasa syukurku. Rasanya berteriak: "Alhamdulillahirobbilalamin" saja tak cukup untuk meluapkan rasa syukur itu..Terlalu banyak. Terlalu dalam. Terlalu membuncah hingga aku kewalahan untuk menampungnya. Dan satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menangis.Â
Bukan karena sengaja ingin melakukan, hanya saja karena aku tak kuat lagi menampung perasaan itu, membuatku begitu saja menangis. Bukan tangisan keras, tapi tangisan yang sangat dalam, hingga menggetarkan dinding-dinding yang membungkus rongga dadaku. Begitu dalamnya hingga naik ke kepalaku, menguras habis telaga air mata meski sebisa mungkin kutahan suaraku.
Tahukah kamu apa yang selanjutnya terjadi? Itu membuat kepalaku berdenyut sakit menahan gelombang rasa itu. Aku tak hanya bersyukur karena terbukanya jalan keluar atas masalahku. Tapi bagaimana keajaibanNya mampu menciptakan jalan yang tak pernah terpikirkan olehku sebagai solusi. Jalan yang selama ini sebuah keniscayaan. Cara eksekusi yang paling bisa diterima oleh pikiranku dan didukung penuh oleh rasa hatiku.Â
Karena masalah yang ku hadapi itu muncul setelah Allah membangunkan kesadaranku dengan cara yang tak masuk akal.sebuah kesadaran yang sangat sulit diterima nalar. Tapi satu kebenaran yang nyata harus kuhadapi. Begitu dalamnya pemahaman yang Dia bisikkan ke dasar hatiku, hingga pengingkaran kehilangan tempat hinggap. Aku kebingungan mencari-cari jalan keluar, seolah jalan buntu dimana-mana. Aku frustasi dengan hidupku. Hanya oleh sebuah kesadaran bahwa ternyata jalan yang selama ini kutempuh bukanlah milikku yang sesungguhnya.
Dan itu cukup membuatku kalang kabut. Bagaimana aku bisa melanjutkan langkah ini, jika ku tahu bukan ini yang Dia mau untukku? Benar-benar sebuah dilema yang menguras pikiranku. Aku tak mungkin mengambil jalan pintas tanpa memikirkan orang-orang di sekelilingku, meski ku tahu itu demi hidupku.Â
Hingga Allah Swt mendatangkan peluang yang sungguh di luar dugaan. Peluang ini rasanya jauh dari kata masuk akal. Sekalipun tak pernah terbesit dalam pikiranku akan melakukan semua ini. Tak kusangka aku memiki kemampuan yang baru kusadari beberapa waktu ini. Keajaiban yang tiba-tiba saja mendatangiku, sebagai jawaban atas doa-doa yang kupanjatkan dalam ikhtiar mencari jalan keluar.Â
Dan kembali ku rasakan keajaiban itu, saat dengan cara yang ajaib pula Dia menghadirkan solusi atas masalahku. Sebuah peluang yang membebaskan aku dari semua batasan yang selama ini mengurungku.
Secara nalar peluang ini bisa kuterima sebab dengan cara ini aku tetap bertahan pada nilai yang ku bawa sejak awal. Aku hanya ingin bertanggung jawab atas hidup yang kujalani. Saat hatiku Dia bangunkan dengan kesadaran tentang kebenaran hidupku yang tak mungkin ku abaikan, aku tak mau pergi begitu saja dengan tanggung jawab yang kubiarkan terbengkelai karena ketidakhadiranku.Â
Maka ketika Dia membuka peluang yang rasanya sangat mustahil pada awalnya, ini benar benar sebuah keajaiban yang nyata. Bahwa ketika kita sudah menyelaraskan diri, semesta akan merespon vibrasi yang kita pancarkan, dengan menghadirkan kejadian yang mendukung tujuan. Aku sudah membuktikan dengan hidup yang sedang kujalani, bahwa sinkronisitas itu bisa terjadi dan sangat mungkin.
Sebelumnya, pada bulan Desember tahun lalu, Allah pernah menghadirkan peluang yang juga menjadi jawaban doaku. Juga dengan cara yang tak biasa. Tapi tetap saja hatiku memiliki kendali rasa untuk mengambil atau menolak peluang yang Dia hadirkan. Dia menggerakkan hati pasanganku dengan cara yang tak pernah terpikirkan. Melalui rasa bersalah yang dalam serta lewat mimpi tengah malam.
Dalam mimpinya, hadir sosok ibu mertua yang sudah meninggal. Melalui mimpi itu, pasanganku merelakanku, karena mertuaku yang meminta itu padanya. Dia menangis.
Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi kalau bukan Allah yang membuat semua itu terjadi? Tak ada satu kekuatan pun yang bisa menciptakan keajaiban semacam itu.
Namun, ada bagian dari diriku yang menolak. Aku tahu, jika saat itu kuambil keputusan, aku akan kembali abai pada tanggung jawabku. Sebab pasanganku memberikan sebuah syarat yang tidak bisa diterima oleh akal sehatku dan hatiku tak rela melakukannya.
Aku masih merasakan ada hal yang tidak benar jika waktu itu kuambil keputusan. Pada akhirnya aku dihantui perasaan abai pada tanggung jawab. Aku akan kembali terjebak dalam keadaan tidak selaras jika memaksakan mengambil keputusan saat itu. Meski hatiku sangat ingin. Dan berkali- kali hatiku berteriak: "Inilah waktunya, waktu yang kunantikan untuk terbebas. Segala rasa sebak dan mengganjal itu akan segera sirna."
Tapi aku kembali dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Bagaimana aku akan menyusun ulang takdirku, jika aku masih membawa rasa kecewa di hati karena gagal bertanggung jawab untuk orang orang yang penting dalam hidupku. Aku adalah orang yang selalu mengambil alih tanggung jawab. Begitulah aku. Bahkan apa yang bukan tanggung jawabku, jika itu merintangi jalanku, aku memilih untuk bertanggung jawab sendiri. Aku bukan orang yang suka mengemis dan meminta dikasihani. Jiwaku adalah memberi. Dan itulah nilaiku. Jika aku tak melakukannya , aku akan merasa gagal menjalani hidupku. Tapi aku sudah tahu batasan yang sehat atas nilaiku itu. Aku tak harus bertanggung jawab untuk hal yang di luar urusanku.Â
Jika menyangkut hak anak-anakku sudah jelas itu tanggung jawabku. Termasuk hutang pada bank yang terjadi selama pernikahanku, aku ada di dalamnya, jadi aku juga punya andil untuk menyelesaikannya. Termasuk jika pasanganku merasa keberatan membayarnya, aku bertekad akan membayarnya sendiri tanpa melibatkan dia. Allah Swt akan memampukan aku untuk semua itu Aku harus benar-benar selesai dengan setiap urusan masa lalu, sebelum aku meninggalkannya demi kebenaran hidupku.
Lalu datang peluang buku ini maka aku sangat bersyukur karena Allah selalu membuka pintu atas apapun yang aku butuhkan selama aku tetap selaras dengan kehendakNya. Aku hanya perlu lebih peka membaca situasi dan memilih yang paling bisa diterima baik oleh hati ataupun pikiranku. Peluang inilah yang benar-benar mampu kuterima dengan seutuhnya diriku, baik oleh pikiran maupun hatiku.
Maka aku menangis lagi---menangis dalam syukur yang tak tertampung kata-kata. Dan di sela isak yang tertahan, suara denging itu kembali hadir, memenuhi kepalaku. Lebih nyaring dari biasanya. Seakan semesta mengamini, bahwa syukur ini bukan hanya milikku, melainkan gema yang menembus langit. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI