Mohon tunggu...
Vitto Prasetyo
Vitto Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

pegiat sastra dan peminat budaya, tinggal di Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hubungan Humanisme dan Akhlak Siswa

16 Maret 2021   15:18 Diperbarui: 16 Maret 2021   15:35 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

   Sebagaimana yang tersirat dalam sistem kurikulum nasional, metoda edukasi pembelajaran yang salah satunya adalah untuk pembentukan kompetensi dan karakter siswa dalam memahami tantangan zaman. Maka, metodologi pendidikan harus jadi parameter (nilai ukur) atas output pendidikan. Interaksi edukasi pembelajaran, harus bisa menumbuhkan sifat dan sikap kemandirian siswa. Ini yang diistilahkan sebagai nilai-nilai pendidikan. Dan berkaca dari pengalaman lalu, benang merah pendidikan masa lalu dijadikan pengalaman berharga untuk diperbaiki pada masa kini.

   Ini semua bisa terorganisir secara sistemik dan skematik, jika komponen dan instrumen pendidikan dapat bersinergi dengan baik. Termasuk penerapan regulasi pendidikan yang bersumber dari penggunaan kurikulum nasional, harus mampu menjangkau wilayah-wilayah daerah yang minim prasarana dan sarana. Pendidikan di wilayah perkotaan, tentu akan berbeda dengan pendidikan di pedesaan, meski penerapan regulasi sama. Maka prinsip-prinsip humanisme (kemanusiaan) harus diterjemahkan secara bijak.

   Jika kita bicara tentang pendidikan, pastinya tidak akan terlepas dari tekstur budaya lokal (adat istiadat), yang sekaligus dianggap sebagai jembatan dalam menyatukan tujuan pendidikan secara nasional. Di beberapa daerah, sering kita menjumpai perbedaan perilaku siswa antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan ini dalam perspektif bijak, kita harus melihatnya dari sisi kerangka kebangsaan, yakni dalam satu-kesatuan nilai-nilai Pancasila. Maka, dimana pun kita berada tentu harus bisa menerima dan menghargai perbedaan itu.

   Mungkin pendidikan yang lalu dianggap sudah tidak sesuai dengan sistem pembelajaran kini, yang sudah menerapkan pola edukasi teknologi. Tetapi ada beberapa hal, dalam sistem pendidikan masa lalu yang dalam muatan kurikulum dianggap bisa memberi nilai terutama dalam kondisi yang serba terbatas. 

Akibat pandemi Covid-19, anak atau siswa lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan informal dan non-formal. Artinya keberadaan lingkungan juga menjadi pendukung, bukan hanya untuk pencapaian prestasi belajar, tetapi penyesuaian lingkungan yang tidak meninggalkan pola edukasi lama.

   Kalau dalam kurikulum pendidikan lama, bagaimana muatan pendidikan dilaksanakan dengan memenuhi standar kriteria kognitif, afektif dan psikomotorik. 

Nilai kesatuan ini sedikit banyaknya membantu dalam komunikasi pendekatan siswa, yang tidak semata-mata hanya terfokus pada sumber-sumber disiplin ilmu ilmiah. Penerapan ini, anak/siswa bisa lebih mandiri dan bertanggungjawab. Sederhananya, anak mulai beradaptasi dengan jadwal waktu yang lebih banyak menggunakan aturan-aturan dalam rumah, termasuk belajar etika moral lingkungan yang sedikit berbeda dengan sekolah.

   Beban psikologis yang dialami oleh anak/siswa karena adanya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi anak. Anak menjadi lebih mengerti, kenapa harus belajar dari rumah demi kepentingan bersama secara sosial. Yang mana dampak ini juga sedikit banyaknya membentuk mentalitas anak/siswa. Bagaimana seharusnya hidup secara benar dan sehat. Termasuk waktu untuk pendalaman agama, melalui kegiatan mengaji dilakukan oleh anak/siswa dengan proporsi yang bisa lebih banyak. Apalagi di saat bulan ramadhan (puasa).

   Kita harus jujur, bahwa tanpa disadari oleh semua pihak, edukasi pembelajaran siswa saat ini sering berbenturan dengan kebijakan pemerintah, jika ini dihubungkan dengan skematik nilai-nilai kemanusiaan. Seharusnya ada konsep pola interaksi dalam pembentukan karakter perilaku siswa dengan sistem pembelajaran yang bermanifestasi hubungan etika kemanusiaan. Apakah hal ini, telah terjadi diskresi (keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan) sebelah pihak? Sehingga orientasi edukasi pembelajaran, yang memakai sistem daring (online) bisa maksimal dalam membentuk perilaku sosial positif.

   Seyogyanya, dalam membangun karakter humanisme (kemanusiaan), khususnya bagi peserta didik yang berjalan dalam lingkungan terbatas, perlu ada keseimbangan prasarana dan sarana, yang menjadi syarat mutlak dalam menghasilkan output (hasil) pendidikan lebih akuntabel (terukur). 

Pola pembelajaran santri yang dulu sering dianggap sebagai pendidikan masyarakat pinggiran, saat sekarang justru masih mampu mempertahankan etika kultural, seperti yang diisyaratkan dalam sistematika kurikulum dalam metoda pembelajaran social humanism (sosial kemanusiaan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun