Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tere Liye Harus Belajar pada Kompasianer

8 September 2017   15:36 Diperbarui: 9 September 2017   08:32 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambil aja tokoh Laisa dalam novel Tere Liye yang berjudul " Bidadari- Bidadari Surga" yang begitu luar biasa bertahan pada kesabaran dan keikhlasannya, demi membesarkan dan membuat adik-adiknya sukses, padahal adik-adiknya itu bukan adik kandungnya sendiri, dan dengan wajah seadanya, boleh dibilang buruk rupa, hingga lelaki tak ada yang mau menikah dengannya, jika pun ada, berkali-kali gagal pada akhirnya, tapi Laisa tak memperdulikan itu semuanya, dan Laisa tetap berjuang, yang penting adik- adiknya pada sukses. Dan benar, adik- adiknya menjadi orang-orang sukses, ada yang menjadi Doktor, Master dan Ir, sementara Laisa tak menjadi apa-apa, hanya tetap menjadi petani dengan berkebun. Coba apa ora hebat tuh sang tokoh yang dicipta Tere Liye?

Lalu bagaimana dengan Tere Liye? Kalau Tere Liye benar-benar berhenti menulis hanya gara-gara pajak yang tinggi dikenakan pada penulis seperti dirinya, itupun setelah Tere Liye membuat perbandingan pada pajak yang dikenakan pada profesi lain, yang menurut hitungannya lebih kecil bayar pajaknya. Aduh... Kasihan amat kalau gitu, lagian ngapain sih ngitung- ngitung rezeki orang lain? Bukankah setiap orang memang sudah punya takeran rezeki masing-masing?

Kalau begitu cara menghitung Tere Liye, baik, mari kita bandingkan Tere Liye dengan para kompasianer yang sangat produktif, sehingg setiap hari bisa menulis dua, tiga atau lebih artikel yang ditulisnya, sampai - sampai pihak pengelola Kompasiana memberikan " hadiah" pujian, yang produktif, yang terpopuler, yang entahlah apa namanya, yang jelas bukan bayaran atau dibayar, jika pun dibayar karena ikut lomba menulis, itupun kalau menang.

Coba hitung berapa artikelnya sebulan? Taruhlah misalnya rata- rata tiga artikel dengan tiga halaman A4 dengan pont 12, terkumpul kurang lebih sebulan 90halaman, kalau setahun, 90 X 12= 1080 halaman, bukankah itu sudah tiga buku novel yang rata- rata halamannya kurang lebih 300 halaman, dan dapat dua novel yang cukup tebal, kurang lebih 500 halaman. Dan itu semuanya dilakukan dengan tanpa dibayar sepeser pun! Padahal sudah mengeluarkan tenaga, pikiran dan juga dana untuk membayar langganan intertenet, belum cukup sampai di situ, sudah tak dibayar, eh masih tetap dihina, dicacimaki, bahkan ada yang sampai disebut binatang, bodoh bahkan gila, kalau tulisannya dianggap buruk atau tak bermutu, menurut kacamata si pembaca, coba itu apa ga sakit hati? Sudah ga dibayar, eh masih mendapatkan hinaan, bukan pujian, apa lagi bayaran.

Loh gimana dengan Anda, Tere Liye? Sudah mendapat sanjungan, pujian dan popularitas dengan honor yang tidak kecil, walau sudah dipotong pajak yang tinggi, Tere Liye masih mendapatkan honor, royaliti dan sebagainya? Apanya yang kurang? Bukankah pada tokoh-tokoh yang Tere Liye ciptakan selalu mengajari tentang pentingnya kesabaran, keikhlasan dan menerima apa yang ada dan jangan membandingkannya dengan rezeki yang diterima orang lain. Kalaupun tidak mendapatkan semuanya, ya jangan dibuang semuanya.

Jadi pada hemat Saya, sebagai penggemar tulisan Anda, Tere Liye, janganlah berhenti menulis, maksud saya tulisan berupa novel yang dicetak, Saya tetap akan membeli bila novel tersebut memang perlu dan enak dibaca. Toh pembaca Anda tidak protes ketika membeli novel- novel Anda yang laris manis. Kompasianer aja sedang pada berusaha agar tulisannya dapat dibukukan, bagi kompasianer tulisannya dapat dibukukan saja sudah bersukur, apa lagi sampai terjual dan Best Seller, waduh... Bisa sujud sukurnya berkali- kali tuh.

Nah sedangkan Anda, Tere Liye.... Sudah lebih dari itu, Anda merem pun, ibaratnya, tulisan Anda dicari orang, lalu mengapa Anda berhenti menulis, hanya gara- gara pajak tinggi? Bukankah Anda harusnya bangga dapat menyumbangkan pajak yang lebih tinggi ketimbang profesi lainnya? Bukankah itu berarti Anda lebih banyak membantu Negara, karena Anda lebih tinggi bayar pajaknya? Itu menurut Saya, entah menurut Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun