Kalau lagi jalan-jalan ke Jogja dan merasa lapar di pagi hari, coba deh mampir ke Soto Sampah. Namanya memang unik dan agak nyeleneh. Tapi jangan salah sangka dulu, meski namanya terdengar jorok, rasa dan kehangatan yang ditawarkan semangkuk soto ini bisa bikin ketagihan.
Warung Soto Sampah ini ada di utara Tugu Jogja. Tepatnya di Jalan Kranggan No.2 dekat Pasar Kranggan. Jaraknya juga hanya 150 meter dari arah Tugu. Letaknya yang strategis dan mudah dijangkau membuat warung ini nggak pernah sepi pengunjung, terutama di pagi hari.
Semangkuk soto ini harganya Rp11.000 dan sangat worth it. Isinya lengkap, ada bihun, taoge, irisan kol, dan tentu saja potongan daging gajih yang jadi ciri khasnya. Semua disiram kuah soto bening yang kaya rasa, gurih, dan hangat di perut.
Yang bikin beda dari soto ini adalah tampilannya yang “semrawut”. Jangan harap bisa melihat penyajian soto yang estetik ala warung soto kekinian. Di sini, satu porsi soto justru terlihat berantakan. Ada gajih sapi yang mengapung, kol dan taoge yang tercecer ke mana-mana, dan potongan bihun yang saling silang seperti jaring. Tapi justru dari situlah muncul keistimewaannya.
Nama “Soto Sampah” sendiri bukan asal-asalan. Berdasarkan informasi dari situs resmi Dinas Pariwisata DIY, awalnya warung ini punya nama biasa-biasa saja. Namun pada tahun 2009, para pelanggan yang setia makan di situ mulai menyebutnya “Soto Sampah”. Alasannya sederhana tapi masuk akal. Karena banyaknya isian dalam soto dan cara penyajiannya yang acak-acakan, penampilannya mengingatkan pada tumpukan sampah yang berserakan. Tapi tentu saja ini hanya soal tampilan, bukan soal rasa.
Alih-alih tersinggung, pemilik warung justru mengadopsi nama tersebut secara resmi. “Soto Sampah” kemudian jadi identitas unik yang membedakannya dari puluhan bahkan ratusan warung soto lain di Jogja. Nama yang awalnya hanya guyonan pelanggan, kini justru jadi magnet bagi wisatawan yang penasaran dan ingin mencicipi langsung sensasi soto yang katanya “berantakan tapi nikmat”.
Bicara soal rasa, Soto Sampah punya karakter yang khas. Kuahnya bening, tidak terlalu kental, tapi punya cita rasa gurih dari kaldu sapi yang dimasak cukup lama. Tambahan gajih membuat kuah terasa lebih “nendang” di lidah.
Menunya juga cukup fleksibel. Buat yang tidak suka gajih atau ingin yang lebih ringan, bisa pilih isian daging biasa. Ada juga tambahan seperti tempe garit, sate usus, sate telur, dan perkedel yang bisa menambah kenikmatan. Semua disajikan dalam suasana warung yang sederhana dan akrab. Tempatnya yang sederhana membuat Soto Sampah terlihat estetik di pinggir jalan.
Warung ini bukan tempat yang mewah. Kursi dan meja panjang ala warung burjo, serta antrean pelanggan yang kadang bikin tempat terasa sesak. Tapi justru atmosfer seperti ini yang bikin Soto Sampah terasa “Jogja banget”. Ada rasa nostalgia, ada kehangatan, ada kesederhanaan yang membuat orang betah duduk meski cuma untuk makan soto Rp11.000.
Dalam konteks kuliner Jogja, Soto Sampah jadi satu dari sekian banyak contoh bagaimana warung sederhana bisa jadi ikon lokal yang digandrungi. Jogja memang punya cara sendiri untuk meramu rasa, suasana, dan cerita jadi satu kesatuan yang sulit dilupakan. Dari Gudeg Yu Djum sampai Angkringan Kopi Joss, kini Soto Sampah juga masuk dalam daftar wajib coba bagi para pelancong.
Mungkin itulah kenapa soto ini terasa lebih dari sekadar makanan. Semangkuk kehangatan di tengah kota budaya. Sebuah penanda bahwa Jogja bukan cuma soal wisata alam dan budaya, tapi juga tentang kuliner kaki lima yang punya jiwa dan cerita.
Jadi, kalau lagi di Jogja, jangan cuma foto-foto di Tugu lalu pulang. Geser sedikit ke utara, cari papan bertuliskan “Soto Sampah”, duduk, pesan semangkuk, dan nikmati sensasi makan yang sederhana tapi ngangenin. Karena di balik penampilan yang acak-acakan itu, tersimpan rasa dan cerita yang rapi tersusun di ingatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI