Mohon tunggu...
Violla Febriani
Violla Febriani Mohon Tunggu... Freelancer - Postman

Postman!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mas, Sahur

15 Oktober 2019   11:37 Diperbarui: 15 Oktober 2019   11:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami melanjutkan obrolan. Alih-alih mengobrol soal hati, justru perbedaan palu butung dan es pisang hijau yang menjadi bahan perdebatan kami. Dan tiba-tiba di kepalaku muncul sebait lirik lagu,

"Sesungguhnya berbicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita, mungkin tentang ikan paus di laut atau mungkin tentang bunga padi di sawah. Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita, selalu bisa membuat semua lebih bersahaja."

Benar, Payung Teduh! Tapi obrolan mengenai ikan paus atau bunga padi tidak pernah kami obrolkan --atau lebih tepatnya belum kami obrolkan.

Perbincangan kami memang selalu seringan itu. Pernah pada suatu malam kami berdebat perihal lebih enak mie instant merk indomie atau mie sedaap. Pernah juga kami berdebat perihal lebih enak paha ayam atau dada ayam. Ringan, kan?

Aku bercerita bahwa tak sabar menjalani puasa hari pertama di kota ini. Benar, ini Ramadhan pertama yang aku jalani di kota Seribu Sungai ini. Aku tak sabar pergi ke Festival Wadai di sore hari dan menilik jajanan khas kota ini. Dia juga mengaku tak sabar menyambut Ramadhan. Pasalnya dia ingin segera bertemu Ramadhan, kemudian segera pulang menikmati cuti bersama yang panjang. Kami terbahak.

Lagi-lagi kami berdebat. Kolak atau gorengan yang paling cocok untuk menjadi santapan pertama untuk berbuka puasa --padahal makanan sahur masih belum sempat disantap.  Kemudian dia bercerita perihal Ramadhan di masa kecilnya. Aku mendengarkan dengan saksama. Sesekali aku menimpali dan mengiyakan jika aku pernah melakukan kekonyolan yang sama seperti yang dia ceritakan.


Dia masih bersemangat bercerita. Sedangkan diriku menemukan kantuk yang semakin lama semakin merasuk. Tapi aku tak rela menutup telepon dan mengakhiri obrolan dengannya. Padahal aku tau dia tidak akan pernah marah jika aku menutup telepon --karena akupun begitu. Tapi aku lebih suka mendengarkan dia bercerita sampai aku tertidur, ketimbang menutup telepon dan mengakhiri obrolan dengannya.

"Dek? Dek?" aku mendengarnya, tapi kantukku lebih kuat dan membuatku tak sanggup menjawab.

Sedetik kemudian aku lupa segalanya.

---

Aku terkaget. Telepon genggamku berdering. Ternyata alarm imsak. Buru-buru aku beranjak dari tempat tidur. Meraih botol air minum dan melahap segera kurma yang ada di lemari pendingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun