Negur pelanggar lalu lintas itu boleh banget. Tapi Jogja ngajarin, teguran yang membekas itu bukan yang paling keras, tapi yang paling halus dan tulus. Contoh, ada bapak-bapak parkir motor di trotoar, dan kamu cuma senyum sambil bilang, "Pak, ini trotoar lho, maaf ya." Reaksinya beda jauh dibanding kalau kamu langsung ngomel. Kadang malah jadi ngobrol dan saling minta maaf.
Sis, bro, ini bukan berarti kamu harus selalu sabar dan diam. Tapi percaya deh, kalau kamu tinggal di Jogja cukup lama, kamu bakal ngerti: menyampaikan pesan dengan tenang lebih didengar daripada teriak keras dari jok motor.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jalanan Jogja?
1. Tegas Boleh, Tapi Tetap Beretika
Kita bisa tetap mengingatkan orang tanpa harus memalukan mereka. Budaya lokal bukan alasan untuk permisif, tapi jadi pengingat cara menyampaikan.
2. Klakson Itu Terakhir, Bukan Pertama
Sebelum pencet klakson, tanya dulu ke diri sendiri: "Emang perlu banget?" Kalau nggak darurat, tahan. Mungkin kamu cuma lagi buru-buru, tapi orang di depanmu lagi nyari alamat.
3. Empati Selalu Punya Ruang di Jalan
Bukan cuma saat ada kecelakaan, tapi juga dalam hal-hal kecil seperti memberi jalan, memaklumi keterlambatan, atau tidak membalas pelanggaran dengan kemarahan.
4. Budaya Berkendara Bisa Membentuk Karakter Kota
Kita sering denger Jogja itu adem, ramah, dan tenang. Dan sebagian besar rasa itu kamu bisa temukan di perempatan, di jalan kecil, di trotoar, dan di parkiran minimarket. Semua berangkat dari cara kita memperlakukan orang lain di jalan.