Episode sebelumnya: "Tersungkur dari Surga"
Suara dedaunan berdesir lembut. Embun pagi masih menggantung di kelopak bunga Eden yang mekar tanpa cela. Di tengah taman itu, Adam duduk bersandar di batang pohon besar, mengamati burung-burung yang bersenandung harmoni. Di sisinya, Hawa sedang tertawa kecil, jemarinya menyentuh permukaan air sungai yang jernih.
Di atas sana, tak terlihat oleh mata manusia, para malaikat berjaga. Mereka bukan pengamat biasa. Mereka adalah pelindung. Penjaga harmoni ciptaan. Pujangga agung yang mengiringi perjalanan manusia pertama dengan cinta dan kehendak Allah.
Tapi tak semua roh di langit berpihak kepada terang.
“Satu dari makhluk tercantik itu menolak untuk melayani,” bisik Raphael pada Mikhael, yang berdiri di ambang batas dimensi antara dunia roh dan bumi. “Dan kini, ia mengincar buah yang tak seharusnya disentuh.”
Mikhael tak menjawab. Pandangannya tajam menembus lapisan waktu, memperhatikan pergerakan sesuatu yang meluncur dari bayang-bayang, seperti kabut dingin yang menjalar di hari yang panas.
Seekor ular. Tapi bukan sembarang binatang.
Roh jahat itu telah menyusup ke dalam bentuk yang licik, menyamarkan kehancuran di balik suara yang manis.
“Apakah benar Allah berfirman: Jangan makan dari pohon mana pun di taman ini?”
Hawa, polos dan tanpa curiga, menoleh pada suara itu. Matanya belum mengenal tipu daya. Suaranya lembut saat ia menjawab,