Mohon tunggu...
vinnie willyanto
vinnie willyanto Mohon Tunggu... Editor - for skul

yey baca ya gais

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Hobi yang Remuk

19 November 2019   11:48 Diperbarui: 24 November 2019   01:25 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu cerah, aku mengingat setiap hal yang terjadi seakan baru terjadi kemarin. Saat itu aku baru memasuki sekolah dasar dan aku sangat menyukai menggambar, menggambar telah menjadi hobi di keluargaku secara turun temurun, orang tuaku percaya bahwa menggambar adalah salah satu bakat yang dimiliki keluarga kami.

Ayahku dahulu mengambil perkuliahan di bidang arsitek dan ibu mengambil di jurusan fashion design. Sejak aku kecil orang tuaku selalu mendukung aku dan kedua kakakku untuk menggambar, maka kami melihat menggambar sebagai hobi yang sangat menyenangkan. Vani, kakakku yang pertama sangat berbakat dalam menggambar, saat ia berumur 15 ia telah memenangkan sekitar 10 penghargaan berbentuk piala dari perlombaan menggambar. Namun, aku dan kakak aku yang kedua, tidak terlalu. Kakakku yang kedua sudah menyerah untuk menggambar sejak ia umur 8 dan saatnya aku berumur 8 akupun mulai menyerah karenanya. Melihat kembali sekarang saatku sudah berumur 16, kami sering menertawakan alasanku untuk berhenti menggambar namun jika aku mengingat kembali hari itu benar-benar menghancurkan impianku untuk menggambar sebagai anak kecil, tetapi hari itu tetap menjadi humor di keluargaku yang tidak akan dilupakan.

Saat itu aku sedang tengkurap di lantai, menggambar seperti biasanya. Di rumahku yang lama, walaupun lebih kecil dibanding rumahku yang sekarang. Semua hal, entah bagaimana caranya, terasa sangat tepat bagiku. Aku yakin ibu tidak merasa seperti itu, tetapi di rumah itu, dimana adanya dapur yang cukup digunakan dua orang, meja makan yang telak untuk lima orang, sebuah ruang tamu dengan TV dimana kami sering berkumpul untuk menonton bersama, di satu sofa berwarna hitam yang terasa persis untuk keluarga kami, dan dua kamar tidur, satu untuk orang tuaku, satu untuk aku dan kakak-kakakku yang dilengkapi ranjang bertingkat.

Saat itu kami merasa nyaman di rumah yang sederhana tersebut, tetapi sejak ibu mendapatkan pekerjaan sebagai agen properti, semakin lama ibu sadar dan menyuruh kami berpindah. Walaupun rumahku yang sekarang lebih luas dan besar, rumah lamaku tetap menjadi rumah yang selalu aku kenangi. Dari angin yang menghembus rambutku setiap pagi sampai matahari yang meredup oleh bayangan pohon di depan rumah, rumah dimana sebagian besar masa kecilku terjadi, dimana aku selalu bermain, belajar, dan rumah dimana ayah dan ibuku pulang setelah pernikahan mereka. Rumah itu akan selalu memiliki nuansa yang hangat di hatiku, sampai hari ini dan selanjutnya.

Cukup tentang rumahku, balik ke peristiwa yang membuat aku berhenti menggambar ya?

Tanpa sofa atau kasur, lantai di rumah itu sangat sejuk, tanpa AC yang membuat kulitku kering, tengkurap disana membuatku sangat nyaman. Aku ingat dengan jelas, aku menggambar seorang perempuan, walaupun gambarku sederhana aku sangat menyukainya. Aku memberitahu semua anggota keluargaku yang ada di rumah, aku ingat berlari ke ruang tamu untuk menunjukkan gambar itu ke ibu yang sedang menonton TV, ke dalam kamarku dimana kakak Vani sedang bermain komputer, dan yang pasti pembantuku yang sedang membersihkan piring di dapur, benar-benar gambaran yang membuat aku bangga dengan diriku sendiri. Aku tidak berani masuk ke kamar orang tuaku, karena kata ibu kakak Jeni sedang sakit dan aku tidak boleh mengganggunya, sedangkan ayah sedang bekerja. Aku tidak sabar menunjukkannya kepada ayah, aku yakin ia akan tersenyum, ia selalu tersenyum saat aku menunjukkan karya-karyaku.

"Apa yang kurang pada gambar ini?" kataku saat melihat kembali gambarku.

"Warna!" seru ibu.

"Bagaimana caranya aku melupakan untuk mewarnai?" aku katakan kembali ke ibu dengan kencang.

Aku bergegas mengambil semua pensil warna dirumah yang dapatku sampai dengan badanku yang kecil dan langsung balik tengkurap di tempat yang sama, aku tidak sempat melihat ekspresi ibu, tetapi aku mendengarnya tertawa sambil melihatku yang sangat ceria dan semangat untuk menggambar dan mewarnai. Aku kembali tengkurap dan pertama aku mewarna baju perempuan itu dengan pensil warna ungu, memastikan tidak ada yang keluar dari garis.

"Seperti baju kondanganku waktu itu!" aku katakan dipikiranku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun