Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

14 Tahun Kematian Munir dan Menanti Kedaluwarsanya Janji Rezim

7 September 2018   17:00 Diperbarui: 7 September 2018   18:17 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seniman memakain topeng wajah aktivis HAM Munir, di Jalan MH.Thamrin Jakarta Pusat, Minggu (7/9/2014). Sejumlah aktivis dan seniman memperingati 10 tahun kematian Munir dan mengingatkan kepada masyarakat belum terungkapnya pembunuhan Munir. TRIBUNNEWS/HERUDIN dalam KOMPAS.COM

Jika dibandingkan dengan beberapa presiden sebelumnya, kita selalu memiliki pendapat bahwa banyak program dan janji yang mangkrak hingga di akhir kepemimpinan pemerintah terdahulu. Namun, bagi Joko (Jokowi) Widodo tentu kita perlu mengapresiasi sejumlah pencapaian yang ia torehkan di bidang pembangunan.

Akan tetapi, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu agaknya tetap menjadi favorit para presiden dari masa ke masa untuk terus ditunda dan dibiarkan mangkrak. Rasa-rasanya penundaan yang kerap berulang pun seolah semacam upaya agar masalah-masalah itu dapat dijanjikan-ulang sembari memanen kesegarannya sebagai komoditas politik belaka.

Saat perkara lambatnya gerak pemerintah ini dibawa ke dalam arena diskusi, tentu kita akan mudah menemukan penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan tekanan dari pihak-pihak kuat tak terlihat. Pihak-pihak inilah yang digadang-gadang dengan sedia siap mengancam kekuasaan yang tengah dipegang.

Pendapat itu memang memiliki poin pembenarannya sendiri. Barangkali refleksi Dr. Karlina Supelli dalam diskusi peringatan Hari HAM sedunia pada 2016 lalu mendukung ide tersebut. Menurutnya, ada perbedaan yang menarik antara bagaimana pemerintah merespon pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warga negara sekaligus pejabat publik.

Jika massa aksi yang berkumpul di Monas pada 2 Desember 2016 lalu dalam beberapa jam segera ditemui Presiden, massa aksi Kamisan yang berkumpul di depan istana negara sejak 2007 hingga 2016 tidak sekalipun memiliki kesempatan. Kesempatan bertemu dengan presiden baru terwujud pada Mei 2018 lalu, 1 tahun sebelum pemilu digelar.

Disamping itu, tuntutan terhadap kasus penistaan agama yang menimpa gubernur non-aktif DKI Jakarta periode 2014-2017 mendapat restu pemimpin negara kurang dari seminggu sejak demo yang digelar pada November 2016 lalu. Sementara itu, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan nama-nama penting di pemerintahan, militer, dan pejabat negara seperti BIN, kerap tidak mendapat prioritas semewah perkara penistaan agama. Meskipun demikian, upaya pemerintah menggelar simposium peristiwa 1965 merupakan hal yang dapat diperhitungkan.

Hal yang menarik dari perbandingan dua peristiwa tersebut menghadirkan kesan bahwa rezim kerap tunduk pada tekanan dan ancaman. Terutama bila menyangkut ketakutan akan potensi kehilangan kedudukan. Kendati kita mengenal istilah hukum adalah panglima, rasa-rasanya hal itu semakin tidak relevan.

Sebab atas dasar yang sama instrumen tersebut digunakan untuk melancarkan pembangunan dan penyelesaian kasus penistaan agama. Namun, atas dasar yang sama juga pelaku pembunuh Munir bebas dan keseluruhan pemufakatan jahat ini pun dikaburkan.

Bagaimana pun juga, kasus pembunuhan Munir dan pelanggaran HAM berat lainnya harus diselesaikan pemerintah. Hal ini tentu menyangkut komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang di dalamnya mencangkup komitmen untuk menegakkan HAM.

Belum lagi, pemerintah sudah sedari dulu memiliki instrumen seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM, kepolisian, dan kejaksaan sehingga tentu pemerintah mampu menyelesaikannya. Namun, pertanyaan akan selalu kembali pada mau tidaknya pemerintah bertindak, mengambil risiko kekuasaan, dan paling penting memiliki niat baik. Hal ini pun masih dapat dibuktikan sendiri oleh rezim di sisa 1 tahun kekuasannya.

Di pemilihan presiden 2019 nanti, kita juga perlu bersiap saat berhadapan dengan iming-iming petahana dan lawan politiknya. Di saat perbedaan antara keduanya sudah tidak lagi sekontras dulu (red. pelanggar HAM dan bukan pelanggar HAM) dan isu tentu akan beralih antara melanjutkan kerja dan memulai kerja baru, rasa-rasanya pernyataan tentang HAM yang tertuang dalam janji kampanye keduanya tentu akan jadi pemanjang halaman tugas kuliah visi-misi dan pemanis yang lebih buatan daripada aspartam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun