Maraknya kasus perkosaan yang terjadi di pesantren sekilas menimbulkan pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang pimpinan di sebuah lembaga pendidikan islam tega menodai kesucian anak didiknya. Bukankah seharusnya mereka melindungi, mengayomi dan memberikan contoh teladan bagi masyarakat. mengapa sebaliknya?
Mungkin pemikiran ini akan otomatis muncul di benak masyarakat ketika membaca atau memonton sebuah berita tentang kasus perkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren.
Mirisnya, kasus perkosaan seorang pimpinan kepada santrinya bukan hanya dialami di satu daerah saja. sebut saja Bandung misalnya, ternyata bukan satu-satunya kota dimana terdapat ustadz yang memperkosa santrinya. Setelah diungkap kasusnya ada belasan bahkan pada tahun 2021 tercatat terjadi di 27 daerah.
Kasus serupa ternyata terjadi di Jambi, Banyuwangi, Subang, Kutai Kartanegara,Tasikmalaya, Jombang, dan Lombok Timur. Rentetan kejadian ini sebenarnya secara langsung atau tidak, telah mencoreng nama baik pesantren.
Jika kasus ini terus terjadi lagi bahkan dibesar-besarkan, bukan tidak mungkin stigma masyarakat terhadap pesantren akan berubah.
Menyikapi hal ini memang dikembalikan lagi kepada masyarakat. pesantren sebagai institusi yang menyediakan jasa dalam pengajaran agama dan masyarakat sebagai pihak yang menerima pengajaran agama sebenarnya dua pihak yang sama-sama saling membutuhkan.
Tidak adil rasanya jika kita menyangkut pautkan ini dengan ajaran agama. Padahal masih ada jutaan pesantren di Indonesia yang memberikan banyak kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat.
Pada akhirnya, jika masyarakat berniat untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren, mereka perlu memperketat seleksi pesantren yang akan dimasukinya. Tulisan berlanjut ke judul selanjutnya.