Mohon tunggu...
VIKTORINUS REMA GARE
VIKTORINUS REMA GARE Mohon Tunggu... Guru - Apa adanya,jujur,bertanggung jawab dan pekerja keras
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pejuang Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menepis Badai (Cerita Bersambung)

27 Februari 2021   20:03 Diperbarui: 1 Maret 2021   20:35 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meminta restu ibu (sumber: Fokusmetrosulbar.com)

Bagian Ketiga

Meminta Restu

(Perjuangan meyakinkan kedua orang tuaku, dan lambaian tangan ibu melepas kepergianku sampai aku menghilang dari padangannya.)

Setelah lulus SMU, kegundahan hatiku kian melanda. Kerinduan untuk melanjutkan kuliah terbayang kekhawatiran, apakah kedua orang tuaku sanggup membiayai kuliahku? Apalagi ayahku sakit-sakit. Melanjutkan kuliah adalah suatu keniscayaan.

Dalam kegalauan hati, aku mengutarakan niat hatiku untuk merantau ke Ujung Pandang kepada ibuku.

"Bu, saya mau merantau ke Ujung Pandang". Mendengar permintaanku untuk merantau, Ibuku menjawab dengan deraian air mata.

"Nak, kalau kamu pergi merantau untuk mencari kerja, pergi kamu punya badan, pulang juga kamu punya badan. Kami orang tua tidak bangga, tetapi kalau kamu merantau untuk kuliah, pergi kamu punya badan, pulang bawa ijazah, ibu dan bapak bangga.

Ibu dan bapakmu mau setelah ini kamu kuliah di Unifersitas Flores (Unflor) Ende," kata ibuku. Aku hanya mendengarkan, apa yang dikatakan ibu.

"Jika terjadi apa-apa dengan kamu, ibu dan bapak bisa tahu karena kami bisa ke sana melihat kamu, dan juga segala kebutuhanmu sehari-hari seperti beras, sayur, bisa dikirim lewat bus Bajawa --- Ende," lanjut ibuku.

"Bu, jika aku kuliah di Unflor, segala biaya hidupku pasti dari bapak dan ibu, karena aku tidak bisa kerja sambil kuliah. Aku kasihan dengan bapak dan ibu. Bapak sakit-sakit, aku juga kasihan bu. Aku dengar cerita dari orang-orang, di Kota bear banyak lapangan pekerjaan bu, aku bisa sambil kuliah sambil kerja. Aku berjanji bu, jika bapak dan ibu mengijinkan ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, aku akan kuliah sambil kerja, kerja apa saja bu, yang penting aku dapat membantu meringankan beban bapak dan ibu. Segala biaya hidup selama kuliah, aku yang cari. Ibu dan bapak cukup siapkan saya uang kuliahnya, aku janji bu." Kuyakinkan ibuku dengan kalimat-kalimatku.

Dalam pergulatan yang melelahkan, karena bapakku benar-benar menentang keinginanku kuliah di Ujung Pandang (sekarang Makassar), karena pertimbangan bapakku, aku masih begitu muda, belum mengetahui situasi kota besar dan pemikiran-pemikiran yang tidak baik jika aku kuliah di kota besar.

Sementara ibuku hanya menangis setiap mendengar bapakku menasehatiku dengan marah-marah, karena pada prinsipnya bapakku tidak menyetujui. Dalam pergulatan yang panjang itu, akhirnya bapak dan ibuku menyetujui aku kuliah di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

Bulan Mei tahun 1997, bermodalkan uang Rp.380.OOO dan beras 10 kilogram, aku dan saudariku Thres bersama Kak Anton, pukul 06.30 pagi, kami bertiga menumpang mikrolet dari kampung Libunio ke Bajawa.

Ibuku melepas kepergianku dengan deraian air mata, sedangkan bapakku sudah berangkat ke sawah sebelum keberangkatanku, mungkin bapakku tidak sanggup melihat aku pergi.

Dari kaca mobil, aku masih melihat ibuku melambaikan tangan ke arah kami, sampai mobil yang kami tumpangi menjauh dari padangan ibuku.

Aku menangis haru, meninggalkan ibuku dengan setia melambaikan tangannya. Sampai aku tak lagi melihat lambaian tangan ibuku karena mobil melaju di tikungan jalan.

Sesampai di Bajawa, kami bertiga menumpang Bus Surya Agung menuju Maumere. Tiba di Maumere pukul 17.30 sore, dan kami bertiga menginap di hotel Benggoan 2 yang dekat dengan pelabuhan Maumere.

Keesokan harinya, pukul 05.00 pagi, kami bertiga bertolak dari Maumere menuju Ujung Pandang dengan KM Awu.

Ada rasa haru dan bangga selama hidup baru pertama kali ini aku menumpang kapal laut. Teringat kembali kata-kata motivasi guru kelasku, bapak guru Aloysius Wula, ketika aku duduk di kelas VI SD.

"Kalau kamu mau melihat air laut, kamu mau naik kapal laut, kamu harus sekolah. Setelah tamat SD, kamu harus ke SMP, setelah tamat SMP, kamu harus ke SMA, setalah kamu tamat SMA kamu harus kuliah, dan saat itulah kamu akan melihat air laut dan kamu bisa naik kapal laut." Begitu ujar guruku ketika itu.

Tak sadar air mata membasahi kedua pipiku, mengenang kata-kata motivasi guru SD ku, perjuangan meyakinkan kedua orang tuaku dan lambaian tangan ibu melepas kepergianku sampai aku menghilang dari padangannya.

Dalam hati aku berdoa, "Tuhan, jagalah bapak dan ibuku."

Dan aku tertidur di dek paling atas dari kapal.

Aku tersadar dari tidurku ketika mendengar suara sirene kapal yang mengisyaratkan bahwa pelabuhan sudah dekat.

Dari kejauhan kelap-kelip lampu kota metropolitan Ujung Pandang bagaikan cahaya berlian dan permadani.

Beribu rasa keingintahuan tentang kota metropolitan kian menggelora. Ingin rasanya cepat-cepat menginjakan kaki di bumi Angin Mamiri,julukan kota Ujung Pandang.

Tepat pukul 04.00 pagi kapal bersandar di pelabuhan Ujung Pandang.

Kami dijemput oleh saudara-saudara yang sudah lebih dahulu merantau di Ujung Pandang, baik merantau bekerja maupun merantau kuliah.

Akhirnya kami tiba di Karuwisi salah satu daerah di kota Ujung Pandang di mana sesama saudara kami kostnya di situ.

Bersambung ke bagian keempat....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun